Banjir besar melanda Cilincing untuk pertama kalinya pada tahun 2007. Semenjak saat itu pada setiap tahun di musim penghujan atau pada siklus lima tahunan, daerah ini tidak luput dari banjir dan bisa disebut berlangganan. Walaupun kedalamannya tidak separah kecamatan yang lainnya di Jakarta Utara, tetapi fenomena banjir ini cukup memprihatinkan bagi masyarakat. Sebagian warga ada yang meninggikan bangunan rumah-rumah mereka untuk menghindari banjir, sebagian lagi tetap bertahan dengan kesabaran serta keikhlasan dan semangat yang masih tersisa untuk menyambut kunjungan banjir setiap tahunnya.
   Cilincing kini telah melaju bersama perkembangan zaman  meninggalkan penduduk aslinya beserta sebagian kebudayaannya, termasuk kuliner yang terkenal pada masanya, kini sudah sangat sulit ditemukan, karena tidak ada lagi generasi penerus yang mewarisinya. Berganti dengan tren jajanan-jajanan modern yang menjamur.  Warung nasi uduk dan penjual kue keliling yang masih tersisa mungkin akan menjadi generasi terakhir yang mempertahankan kekayaan kuliner tradisional yang kini berada di ambang kepunahan.
   Dalam master plan tata kota, kelak kawasan Jakarta Utara ini diperuntukan menjadi jalan raya yang besar, ruang terbuka hijau dan kota penyangga pelabuhan. Hanya tinggal menunggu waktu saja hingga masa itu tiba. Hari di mana mungkin kami akan terpaksa pergi karena menjalankan kewajiban sebagai warga negara yang baik dengan menaati peraturan pemerintah sebagai bukti cinta kami kepada tanah air tercinta.
   Cilincing yang tak lagi bening, tetapi sejarahnya tersimpan rapi dalam kenangan dan menyelimuti setiap hati yang akan merindukannya nanti.