Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mungkin di Langit Tuhan Berkata, "Bersikap Adillah kepada HambaKu yang Perokok"

28 Januari 2021   15:49 Diperbarui: 28 Januari 2021   15:51 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya akhirnya merokok, aktif sampai sekarang. Apa pun yang terjadi di hari esok terhadap paru-paru atau jantung, saya akan menerimanya sebagai konsekuensi hidup oleh pilihan-pilihan yang saya ambil.

Pertama kali memantapkan diri sebagai perokok, itu terjadi ketika hari ulang tahun saya yang ke-20. Kado terindah yang saya berikan kepada diri sendiri menjadikannya perokok aktif. Saya senang melakukannya. Dan menganggap rokok bersama kopi adalah teman berpikir yang paling pengertian. Serta mendengarkan musik sebagai rukun pelengkap dari serangkaian ibadah merokok.

Ada beberapa alasan saya sehingga menjadi perokok, satu dan lain hal adalah sebagai bentuk perlawanan, ketidak-adilan medis yang selalu menjadikan rokok sebagai biang keladi datangnya penyakit ini dan itu.

Dewasa ini, banyak masyarakat kita masih terkungkung dalam pandangan stereotip cacat nalar: baik buruknya seseorang bisa ditentukan hanya dari aktivitas merokoknya. 

Kita bisa dianggap tokoh baik dalam kehidupan ini jika kita tidak merokok. Dan dipandang buruk hanya karena menjadi perokok. Sebagaimana yang telah saya alami saat memutuskan menjadi perokok.

Karena itulah sehingga penilaian mereka terhadap saya jadi beda. Seolah-olah saya begitu buruk di mata mereka hanya karena keputusan yang saya ambil ini. Akan tetapi saya tentu tidak mau pusing dengan semua itu. Karena sejak dulu saya selalu tidak sepakat, apabila rokok dijadikan parameter untuk menilai baik buruknya seseorang. Apakah menjadi perokok ada kaitannya dengan moral seseorang? Saya kira tidak seperti itu.

Jika aktivitas merokok adalah sebuah naskah cerita, maka ada tiga posisi manusia dalam menempatkan dirinya sebagai tokoh. Pertama adalah perokok itu sendiri, mengambil peran sebagai tokoh utama atau protagonis. Tokoh yang tertindas, teraniaya, sehingga hendak memperjuangkan hak-haknya yang terlalu banyak mendapat intervensi dari berbagai pihak.

Misalnya, praktisi kesehatan yang suka menakut-nakuti dengan penemuan medisnya yang perlu dipertanyakan. Juga pemerintah yang terwakili menteri keuangan yang terlalu jahat menaikkan cukai rokok, berimbas pada kenaikan rokok di pasaran, jika daya beli rokok berkurang maka langkah ini telah mencekik kehidupan petani-petani tambakau.

Posisi kedua adalah mereka yang bukan prokok. Mendengarnya saja tentu kita sudah bisa tahu bagaimana orang-orang yang tergabung dalam golongan ini. Kendati tidak merokok, tapi mereka tidak masalah dengan apa yang dilakukan perokok. 

Makanya mereka santai-santai saja ketika di sebuah perkumpulan, entah membicarakan hal apa saja, ada satu atau dua orang perokok, asapnya terbang kemana-mana. Mereka tidak memasalahkan asap rokok sama sekali. Golongan ini bisa dibilang tokoh tritagonis dalam cerita.

Dan yang terakhir adalah golongan anti rokok. Mereka tokoh antagonis. Gerombolan orang-orang yang sangat radikal menanamkan idealisme-idealismenya, kepada kita yang berbeda pandangan. Orang-orang yang paling tidak suka segala rangkaian aktivitas merokok ada di muka bumi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun