Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencoba Kalis namun Ia Mati

11 April 2020   19:18 Diperbarui: 11 April 2020   19:15 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Si wanita menurunkan tangannya seketika, ekspresinya berubah, "Apakah yang kau maksud adalah orang asing itu?"

Pemuda itu mengangguk.

"Apa yang hendak kau tahu?"

"Semua yang kau tahu darinya. Bila kau enggan terbuka yang sebenarnya. Kutakutkan ada yang menyimpulkan kematiannya ada sangkut pautnya denganmu. Ia bisa berstatus korban dan kau adalah tersangka."

/2/

Pagi di Marano adalah berselimut kabut, mengurangi jarak pandang dan dingin menusuk tulang. Walau begitu aku menyukai suasana begini. Terlebih aku baru menginjakkan kaki di sini lagi. Urusan pendidikan di kota mengharuskan aku jauh-jauh dari Marano. Hanya dua dalam setahun aku pulang. Ini adalah salah satu kepulanganku.

Ini bukan Marano beberapa tahun yang lalu ketika penduduknya masih banyak. Saat ini Marano amatlah sunyi. Wajah-wajah yang dulu akrab denganku tidak tampak lagi. Mereka menyerah bertahan di wilayah terpencil sukar mendapat perhatian penguasa. Keluargaku adalah satu dari sedikitnya warga yang memilih bertahan.
Pagi di Marano adalah matahari malu-malu memancarkan sinar, aku berjalan di atas jalan-jalan yang menawarkan kesunyian. Udara segar hadir di rongga pernafasan. Tepat di tengah jembatan aku berhenti. Kabut belum pergi menyilumuti Marano. Walau begitu aku bisa memandangi aliran air sungai di bawahku. Dan pada kejadian itulah kali pertama aku melihat mayat mengambang di sisi sungai.

Rasa penasaran disertai detak jantung bergerak cepat mengiringi langkahku menuruni jembatan. Semakin jelas kulihat sosok mayat itu. Warga menyebutnya orang asing. Seorang pemuda mungkin lima atau tujuh tahun di atasku adalah penghuni baru di Marano. Ia kerap diperbincangkan lantaran keputusannya meninggalkan kota hanya untuk menetap di sini. Ada spekulasi muncul mengenai dirinya adalah seorang buron. Lari dari hukum yang menjeratnya. Tapi itu sebatas dugaan belaka. Kami tidak tahu pasti alasan ia ada di sini. 

Beberapa dari kami sudah menanyakan kepadanya, namun ia urung berterus terang.
Di saat bersamaan seorang bocah mengendarai sepeda berhenti di atas jembatan, sejenak bertubrukan mata denganku. Sebelum ia cepat-cepat mengayuh sepedanya.

Ketika aku belum bisa memutuskan langkah apa akan kuambil terhadap mayat itu, si bocah kembali datang bersama beberapa orang warga. Menghampiriku. Kudengar bocah itu berkata kepada mereka, "Dialah pembunuhnya!" sambil menunjuk ke arahku. Sontak aku terkejut dengan tuduhannya.

"Apakah benar kau yang membunuhnya?" Salah satu lelaki paruh baya berang kepadaku. Aku grogi, ketakutan, wajahku mungkin memucat. Aku seolah-olah adalah benar-benar pembunuhnya  sedang tertangkap basah. Aku tidak memahami mengapa tiba-tiba aku seperti itu. Padahal bisa saja dengan cepat aku membantah tudingan yang dialamatkan kepadaku. Tapi ada jeda yang kuberikan, justru kekikuangan yang kuperlihatkan kepada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun