Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dongeng Munir

23 April 2019   09:27 Diperbarui: 23 April 2019   09:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sarita datang membawa kepalanya yang terpenggal; menuntut keadilan. Mengenakan baju kemeja lengan panjang yang koyak moyak. Tampak bekas-bekas sayatan pada tubuhnya. Darah itu merah, masih segar. Lama saya memandang kepala menggantung di tangannya. Kedua matanya terbelalak. Bekas aliran air mata di bawah matanya; mata yang belum sempat menyaksikan keadilan untuk Munir. Demikianlah saya bermimpi pada sebuah tidur malam. 

Tahun 2004 saya masih anak-anak, duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Sama sekali belum mengetahui ternyata adalah tahun kematian Munir. Tidak seperti teman-teman kebanyakan, saya beberapa lebih langkah berada di depan. Saya katakan begitu, toh memang saya sudah lancar membaca dan melakukan perhitungan dasar. Saya bukanlah satu-satunya yang memiliki kemampuan seperti itu di dalam kelas.

Sarita namanya. Kemampuan kami sama. Guru dalam memperlakukan kami, tidak pernah lebih cenderung kepada salah satu dari kami. Malah dia selalu menekankan pada teman-teman bahwa saya dan Sarita memiliki kemampuan yang sama. Dan layak dicontoh oleh mereka.

Tibalah saya merasa, Sarita terbaik daripada saya. Semua bermula ketika pada hari itu sebelum menutup kelas, guru meminta saya dan Sarita mendongeng di depan kelas. Itu sudah menjadi rutinitas kami tatkala hari Sabtu tiba. Seminggu sekali kami akan diberi kesempatan mendongeng menghibur teman-teman, sebelum pulang, menyambut hari libur esoknya.

Sebelum hari mendongeng itu tiba, kami memiliki beberapa hari untuk mempersiapkan dongeng apa yang akan kami sampaikan kepada teman-teman. Saya tidak pernah jauh-jauh dari fabel, adapun Sarita kental dengan legenda. Perbedaan warna dongeng kami bawakan menjadi kesenangan tersendiri oleh teman-teman. Mereka mendengar persembahan dongeng yang lebih bervariasi.

Tetapi ada yang lain pada hari itu. Saya yang terlebih dahulu diberi kesempatan untuk tampil di depan. Dongeng yang saya bawakan tentang persahabatan semut dan elang. Tentu saja bukan karangan saya sendiri. Saya berkiblat pada buku yang saya baca, dan pernah pula diceritakan oleh kakak saya secara lisan. Saya membawakan dongeng itu dengan gaya teatrikal. Tepuk tangan bergemuruh, guru selalu memuji, bakat saya mendongeng memang luar biasa. Sesuatu yang jarang dijumpai pada anak seusia saya pada waktu itu.

Setelah itu giliran Sarita yang tampil di depan. Saya masih ingat bagaimana penampilan Sarita pada waktu itu. Rambut panjangnya dikepang, dengan  poni hampir menyentuh alisnya. Seragam merah putih. Ada bercak noda di bajunya berwarna cokelat, adalah lelehan es lilin yang dimakannya pada saat jam keluar main. Di teras kelas saat menikmati es lilinnya, seorang anak laki-laki bertubuh tambun berlarian di koridor, tidak sengaja ia menyambar tangan Sarita. Es lilin Sarita terlepas, sebelum jatuh ke tanah sempat menodai bajunya.

Melihat Sarita sudah tampak siap-siap membawakan dongengnya, di bangku saya sangat penasaran kira-kira dongeng apa lagi yang akan ia persembahkan pada kami. 

"Dongeng Munir," saya dengar dua kata itu menjadi judul dongengnya. Lebih terkejutnya lagi, Sarita mengakui pada kami bahwa dongeng itu karangannya sendiri. Wah, hebat! Saya saja belum berani mengarang dongeng sendiri. Tetapi Sarita sudah melangkah di depan saya. 

"Pada zaman baheula, Munir seorang kesatria mati di tangan Sengkuni. Pada saat sedang terbang ke negeri nun jauh di sana. Mencari kitab kemanusiaan...." begitulah Sarita memulai dongengnya. Tidak seperti Sarita biasanya.

Belum juga lama, di saat saya begitu larut dengan suaranya yang meraung di keheningan kelas. Tiba-tiba guru menghentikan pertunjukan dongeng Sarita.
Saya tidak tahu alasannya mengapa guru kami seperti itu. Sarita diperkenankan kembali ke bangkunya dengan raut wajah penuh kekecewaan. Tidak lama setelah itu kelas dibubarkan. Sarita tidak diperkenankan oleh guru kami keluar kelas. Mereka terlibat obrolan empat mata. Saya penasaran menunggu Sarita di luar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun