Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Skeptis dan Tuduhan

22 April 2019   08:37 Diperbarui: 22 April 2019   09:16 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang sangat saya rindukan adalah kematian. Setelah saya pikir-pikir hidup terlalu keparat untuk menemani kita berumur panjang. 

Tetapi jujur saja saya takut mati. Saya takut, karena saya sadar ada dalam posisi dilema besar; apakah surga dan neraka itu benar-benar ada? Ataukah hanya cerita dongeng?

Jika benar ada. Kalau saya cepat mati, saya pesimis bakal masuk surga. Akhir-akhir ini saya tidak tunduk pada perintah Tuhan, malah saya kadang merasa telah murtad. Sekalipun sesekali saya tetap beribadah, tapi saya merasa sia-sia beribadah. Saya tidak merasakan apa-apa, selain kehampaan dalam setiap gerakan.

Ada teman saya memvonis bahwa iman saya perlu di-upgrade. Ya, dia ada benarnya. Setiap hari saya seolah-olah melihat, iman itu satu persatu keluar dari dari tubuh saya, bak asap kemudian terbang entah kemana menjauhi saya. Lenyap kemudian.

Pada awalnya saya hendak mengadukan permasalahan batin saya yang sakit ini kepada pemuka agama, tetapi zaman sekarang sulit rasanya menemukan pemuka agama yang benar-benar pemuka agama.

Sejak saya melihat si Sultan yang dipanggil dai berkoar-koar di atas mimbar. Menyeru kebaikan pada umat namun gelagatnya sangat mudah saya baca, ada kepentingan ini dan itu di dalamnya.

Saya menjadi skeptis setiap melihat wajah-wajah baru di atas mimbar. Tidak dinyana lagi, memang tiba-tiba banyak orang baik berkeliaran memamerkan senyum sana sini, menyampaikan kebaikan di rumah ibadah. 

Di tengah-tengah itu, tiba-tiba saya terpikirkan Halleenda, saya tahu ia berada di kampung ini lagi. Entah keperluan apa, padahal biasanya ia menghabiskan waktunya di kota. 

Kalau saya boleh menebak, Halleenda sering tinggal di kota disamping tuntutan pekerjaan, barangkali kapok tinggal di tengah-tengah orang-orang yang terlalu merasa beragama dan pancasilais, padahal kenyataannya sakit dalam hal toleransi.

Saya katakan mereka cenderung intoleran bukan tanpa alasan. Saya lama hidup di tengah-tengah mereka, kerap menyaksikan bagaimana cara mereka memandang atau memperlakukan orang yang berbeda.

Salah satu contoh si A yang pada mulanya memeluk agama B. Ketika teman-teman si A mengajaknya beribadah, selalu si A menolak. Seringkali seperti itu. Karena si A capek menolak karena selalu diajak serta, untuk kali pertama dia berani membeberkan yang sebenarnya. 

Bahwa dia telah meninggalkan agama yang dianut sebelumnya. Karena itu kawan-kawannya berubah sikap padanya. Kabar kemurtadannya pun santer terdengar, alhasil orang-orang yang dulunya seagama dengannya mengutuk bahkan tidak sedikit dari mereka mencampakkan si A.

Saya bisa menjelaskan semua ini, setelah suatu hari di perempatan jalan saya melihat si A tampak siap-siap untuk bepergian. Saya mendekatinya duduk di tempat menunggu mobil, sebuah rumah-rumahan lebih mirip pos ronda. Karena hanya jalan tak beraspal, mobil-mobil tidak selalunya ada, tergantung kemujuran si penunggu.

Kesempatan itupun saya manfaatkan untuk bincang-bincang dengannya, apalagi telah saya dengar kabar kemurtadannya dari mulut-mulut warga bak air mengalir. Dia mengakui, dan bercerita panjang lebar. 

Akhirnya saya tahu, dan sedikit saya gambarkan sebagaimana di atas. Saya masih mengingat pertanyaan ini yang saya lontarkan padanya, "Lalu agama yang kau peluk sekarang apa?"

Dia menjawab, "Untuk saat ini saya tidak memeluk agama apa-apa." Saya menyela, "Apakah kamu ateis?"

"Tidak! Saya masih percaya Tuhan." 

Saya sebenarnya masih ingin berbicara lama-lama dengannya. Tapi keberadaan mobil memutus pertemuan kami. Dia pergi, dan tidak pernah saya lihat kembali. Barangkali kapok tinggal di lingkungan yang intoleran.

Anehnya, tidak berselang lama setelah pertemuan saya dengan si A. Saya malah mendapati diri saya menjadi berbeda, seolah-olah saya dirasuki olehnya. Saya tidak tahu apakah hanya kebetulan atau pada pertemuan kami, dia sempat membacakan mantra yang membuat saya jadi begini. Ataukah setan telah benar-benar menguasai diri saya.

Saya jadi pribadi yang banyak bertanya-tanya pada diri sendiri tentang ini itu. Baik objek yang disaksikan oleh mata maupun yang saya baca dari kitab. Saya jadi skeptis terhadap pada banyak hal. Tetapi saya tidak sampai membeberkan pada orang-orang kalau saya murtad, toh, tidak yakin juga kalau saya ini murtad, walaupun saya kadang merasa terlalu jauh keluar dari lingkaran agama yang saya peluk.

Sebelum pembangkangan saya menjadi-jadi, makanya saya harus menemui pemuka agama untuk mengadukan permasalahan saya. Karena saya diliputi keraguan, saya lebih memilih Halleenda. Saya tahu dia seorang psikolog. Apakah memang pantas saya mengadukan batin saya yang sakit ini kepada psikolog? Saya tidak tahu apakah pantas, tapi apa salahnya mencoba. 

Berjalan kakilah saya, menelusuri jalan-jalan, sesekali berpapasan orang-orang. Beberapa bertegur sapa menanyakan hendak ke mana, beberapa hanya saling senyum saja.
Kedatangan saya disambut baik oleh Halleenda. Wajahnya yang menarik, usianya belumlah lagi terlampau tua, menjelang kepala empat, sewindu atau sedekade di atas saya. Hallenda malah lebih memilih hidup sendiri. Saya katakan hidup sendiri karena memang dia tidak punya suami dan siapa-siapa lagi. Itu yang saya tahu, toh sekampung dengannya. 

Akan tetapi kehidupannya di kota saya tidak tahu menahu. Bisa saja di sana dia tinggal bersama kekasihnya, walaupun tanpa ikatan pernikahan. Kehidupan di kota kita tahulah seperti apa. Monyet yang lugu saat di kampung, di kota bisa saja menjadi singa beringas.

Belum apa-apa saya langsung disuguhi teh hangat, dan kue-kue. Sangat cocok dinikmati pagi-pagi. "Saya mau mendengar permasalahan yang Anda alami," demikian kata Halleenda mempertahankan senyumnya. 

Teh saya teguk baik-baik, kue saya telan beserta ampasnya yang terasa mengganjal di mulut. Setelah itu saya tuturkanlah pada Halleenda permasalahan saya. Berharap dia bisa memberikan solusi pada saya yang sakit ini.

Sialnya, dan tidak pernah kami duga sebelumnya. Belum juga selesai keluh kesah saya padanya. Terdengar keriuhan di luar. Kami penasaran, bangkit dari posisi berjalan ke muka pintu. Sekelompok orang telah mengepung rumah Halleenda. 

Saya melihat wajah-wajah mereka. Saya tahu mereka adalah anggota ormas. Ormas baik, kata orang, tetapi tidak bagi saya. Saya sudah banyak tahu kedok ormas sok suci itu.

Jantung saya berdebar-debar. Dalam hati saya betanya-tanya apa yang telah terjadi sebenarnya? saya lihat kepanikan pun ada di wajah Halleenda. Beberapa orang mendekat, menyentak kami dengan paksa. 

Mereka membawa kami keluar rumah. Kami tidak tahu akan di bawa kemana, pandangan orang-orang di jalan tertuju pada kami. Sayup-sayup saya mendengar umpatan, melihat kebencian mereka. Halleenda hanya bisa bungkam dan tertunduk.

Ternyata kami dituduh telah berbuat mesum. Sungguh tuduhan yang salah alamat dan membabi buta. Bahkan kami tidak diberi kesempatan itu memberikan suara. Kami dibungkam. Saat-saat itulah saya semakin merindukan kematian, kehidupan semakin tak menarik lagi setelah banyak melihat wajah-wajah siluman bertopeng malaikat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun