Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya. Seolah-olah hari itu di kampung mereka tidak ada kematian. Sekumpulan warga tertawa riang di teras rumah. Mereka tenggelam dalam celoteh. Suara musik berdentum hebat terdengar walau radius 100 meter. Sementara Kasimin berbanjir keringat menggali kubur. Tak ada satu pun yang berkenan membantunya.
Mulai dari penggalian kubur, pemandian jenazah, mengkafani, hingga mensalati. Kasimin sendiri yang melakukannya. Sementara anaknya yang malang itu tertidur pulas usai puas menetek pada mayat ibunya. Betapa repotnya Kasimin membawa sendiri mayat istrinya ke pemakaman untuk ia kuburkan. Setiap rumah yang ia lalui ditutup rapat. Seolah mengutuk keluarga Kasimin. Semua memandangnya dengan penuh benci.
Barulah setelah mayat Marliang dikuburkan. Orang-orang membuka mulut. Saling bercerita tentang kematian Marliang adalah kutukan. Atas kesombongan Kasimin selama ini mengabaikan seruan adat.Â
"Marliang menjadi tumbal dari rumah yang mereka bangun," teriak salah seorang di tengah jalan. Â Semua orang harus dengar apa yang ia teriakkan. "Marliang menjadi tumbal dari rumah yang mereka bangun," berkali-kali ia mengulangi teriakannya itu. Ia berupaya memprovokasi orang-orang untuk mengsangkut-pautkan kematian Marliang dengan rumah mereka.
Ketika Kasimin membangun rumah itu. Ia tidak mendarahinya. Tidak ada tunas kelapa dan simbol-simbol lainnya yang digantung pada ariang posi (Tiang Tengah). Mereka percaya  simbol itu sebagai doa keselamatan agar terhindar dari bala bagi yang empunya rumah. Tradisi itu turun temurun dilakukan oleh penduduk kampung sejak zaman leluhur mereka.  Kasiminlah orang pertama yang lancang mengabaikannya.Â
Kasimin memang sengaja mengabaikan tradisi itu. Mengabaikan bukan berarti tidak menyukai. Jika simbol semacam itu dipercaya sebagai doa, maka Kasimin punya cara lain berdoa. Ia tidak pernah menyalahkan. Tidak juga menganggapnya sebagai sesat atau perbuatan syirik. Tapi, apabila simbol-simbol itu dipercaya memiliki kekuatan mistik dan memiliki kekuatan untuk meredam marabahaya. Maka akan lain ceritanya. Kasimin akan berlagak menjadi singa menentang kesyirikan.Â
"Leluhur kita di alam sana akan mengirim karma padamu. Kau lancang mengabaikan seruan mereka yang turun temurun kita lakukan, Kasimin," tutur salah seorang warga dengan wajah teramat jengkel menatap Kasimin. Setelah ia melihat rumah Kasimin berdiri tanpa ada tunas kelapa dan simbol lainnya pada ariang posi.Â
"Kesombongan Kasimin akan mencelakakannya,"
"Tidak lama lagi! Tidak lama lagi! Ia akan ditimpa musibah. Camkan kataku!"
Tidak hanya itu saja. Kasimin kerap kali terlibat cekcok dengan ayahnya. Ia selalu meminta pada ayahnya untuk berhenti jadi sanro (Dukun). Kasimin menilai ayahnya terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai agama dalam segala praktek perdukunannya.Â
Ayahnya selain sakti dalam meramal nasib juga memiliki jampi-jampi. Jika warga sakit bukannya berobat ke dokter malah lebih mempercayakan padanya. Disamping murah, kesembuhan juga terjamin. Ia tidak pernah mematok berapa kisaran harga. Seikhlas dan semau warga. Kadang ia diberi sembako atau duit. Warga yang telah ia sembuhkan penyakitnya wajib membawa sesajen padanya. Biasanya berupa aneka jenis makanan dan seekor ayam.Â