Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mayat yang Diarak

15 Februari 2018   07:00 Diperbarui: 15 Februari 2018   07:23 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: nationalgeographic.com

Kasimin menggendong anaknya yang masih balita, bergegas menuju pemakaman. Tempat istrinya disemayamkan. Lolongan anjing meraung di keheningan malam. Sorot matanya menatap tajam pada Kasimin berjalan tergesa-gesa. Seolah mengutuk apa yang akan dilakukan Kasimin terhadap kuburan istrinya. Bagi Kasimin, orang-orang harus tahu bahwa istrinya meninggal karena Tuhan menyayanginya. Tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi adat yang selama ini mereka abaikan. 

Kasimin masih ingat betul, detik-detik Marliang didatangi Izrail. Betapa Marliang tersenyum saat Izrail menampakkan rupa padanya. Senyum Marliang seperti itu, lebih lebar daripada senyumnya saat Kasimin pulang, setelah bertahun-tahun mengadu nasib di negeri orang. Dan, senyum Marliang lebih lebar lagi daripada senyumnya saat pertama kalinya Kasimin membisikkan kata cinta padanya.  

Jika yang Izrail tangani adalah manusia penuh dosa, maka ia akan datang dengan wajah yang teramat garang. Dan, kalau yang ia cabut nyawanya adalah manusia baik-baik maka tampilan Izrail juga tak kalah baik. Sehingga beda perlakuan Izrail manakala ditugaskan mencabut nyawa Marliang dan mencabut nyawa ayahnya.

Sebab itulah Marliang tersenyum saat Izrail datang menjemputnya.  Senyum Marliang tetap bertahan hingga nyawanya terenggut. Tubuhnya boleh kaku tapi bibirnya masih menggoreskan senyum. Belum pernah Kasimin mendapati mayat perempuan secantik istrinya. Dulu ketika ayahnya meninggal dunia, Kasimin sedih. Kedua mata ayahnya terbelalak dan mulutnya menganga. Ironisnya lagi, saat dibimbing mengucapkan kalimat tauhid tak sanggup lagi.  Kasimin senang, istrinya mati dalam keadaan khusnul khatimah. Ia yakin betul predikat itu sampai padanya.

Usai bakda subuh waktu itu, Kasimin berjalan tergesa-gesa ke langgar. Air matanya sempat bercucuran. Antara sedih lantaran ditinggal istri tercinta dan senang karena Marliang  meninggal dalam keadaan baik. Jamaah salat subuh beberapa menit yang lalu sudah kembali ke rumah masing-masing. Di langgar itu Kasimin mengumumkan sendiri kematian istrinya melalui pengeras suara. 

Mayat Marliang yang menggoreskan senyum sudah di pindahkan ke ruang tengah. Hanya ditemani oleh anak perempuannya yang masih balita. Yang belum tahu kematian itu apa. Anak malang itu asyik bermain di samping ibunya. Ia mengelus wajah ibunya. Dan mencari-cari payudara ibunya untuk menetek. 

Kasimin kembali ke rumahnya setelah dari langgar. Sepanjang jalan suasana masih lengang. Perlahan-lahan kegelapan disingkap terang. Rumah warga yang ia lalui banyak sudah yang terbuka pintunya. Pada bagian dapur terlihat kepulan asap. Aroma makanan tercium. Kasimin yakin betul kematian istrinya yang ia umumkan di langgar, sudah sampai di telinga warga. Anehnya tak satu pun warga sudih bertanya-tanya perihal kematian Marliang. Mereka abai dan cuek melihat Kasimin berjalan tergesa-gesa kembali ke rumah. Air mata kasimin masih berkaca-kaca. Senang dan sedih berkecamuk dalam dirinya.

Mata Kasimin terbelalak begitu sampai di rumah. Didapatinya suatu adegan, anaknya tengah menetek pada jasad ibunya yang sudah terbujur kaku itu. Senyum masih menggores di wajah Marliang. Dari payudaranya memancar deras air susu yang dilahap anak malangnya. Bagaimana mungkin mayat masih bisa memberikan hak-hak pada anaknya? Bagaimana bisa Marliang masih memiliki air susu? Bukankah Izrail telah menjemputnya? batin Kasimin. Aneh tapi memang nyata. Tangis Kasimin memecah melihat itu. Ia membiarkan anak malangnya menetek sepuasnya. Sebelum ibunya dikubur nanti. 

Pagi itu, cuaca bersahabat. Tidak panas juga tidak mendung. Matahari begitu baik memberikan pancaran sinarnya. Kasimin mengaitkan itu dengan kematian baik istrinya. Mayat Marliang wangi semerbak, bak minyak kasturi. Tidak seperti kematian ayahnya. Kasimin masih ingat, ketika ayahnya meninggal dunia. Hujan deras mengguyur. Karena itu dua hari dua malam mayatnya belum di kuburkan. Ia membusuk di ruang tengah. Sedangkan mayat Marliang teramat wangi bak minyak kasturi. 

Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Pelayat belum juga berdatangan. Berkali-kali ia menengok ke arah pintu. Berharap ada orang yang datang melayat. Sementara jasad Marliang semakin wangi. Wanginya memenuhi rumahnya. Dengan perasaan sedih Kasimin melangkah gontai ke teras rumahnya. Mengarahkan pandangannya pada ruas jalan. Tak satu pun ada tetangga yang tergerak hatinya datang melayat. 

"Manusia macam apa kalian?" ucap Kasimin lirih. Raut wajahnya teramat kesal. Tangannya ia kepalkan. Mayat Marliang harus segera dikuburkan. Jika tidak, wanginya semakin menjalar menuju rumah tetangga, bahkan bisa tercium oleh satu kampung, pikir Kasimin. Tak menunggu lama lagi, Kasimin segera menuju pemakaman membawa cangkul. Sementara di ruang tengah anaknya masih menetek pada mayat ibunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun