Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat untuk Maria

26 Januari 2018   20:23 Diperbarui: 28 Januari 2018   13:46 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay)

 Iya Maria, satu periode memang belum cukup. Buktinya tiap pemilihan selalu terdengar calon petahana. Bahkan dua atau tiga periode pun aku yakin belum cukup. Andai saja tidak ada undang-undang yang mengatur batas maksimalnya memerintah. Calon petahana akan terus nongol bila perlu sampai menyamai lamanya Pak Harto.

Bahkan untuk tingkat pemerintahan desa pun seperti itu. Kemarin si Musliadi kembali menduduki tahta kursi kepala desa. Ia kembali dipercaya rakyat. Toh, namanya calon petahana. Bahkan ada warga yang mulutnya busuk berkata "Musladi menang, lantaran main sogok. Uang yang seharusnya dipake untuk membangun desa tahun ini malah digunakan untuk membayar suara." 

Aku tahu Maria kau akan emosi mendengar ini. Tidak akan pernah kulupakan kau tipikal perempuan yang tidak senang bentuk kemenangan seperti itu. Aku sering diperdengarkan unek-unekmu menyoroti hal begituan. Kau tidak hanya mengkritisi tapi lebih dari itu, Maria. Sehingga beruntungnya dia yang sekarang menjadi suamimu.

Maria kasihku. Kuingatkan kau sepenggal kisah kita. Di sebuah kantin ketika kita dilanda rasa lapar. Di luar mendung, kantin sepi. Aku masih hapal raut wajah pemilik kantin kusut menunggu pelanggan. Terpancar senyuman darinya saat kita memesan nasi goreng. Kita duduk berhadapan. Kamu masih ingat perkataanmu sendiri? "Jangan ada kata-kata putus di antara kita!" Katamu begitu tegas. Begitu serius kulihat kedua bola matamu. Ya, benar sejauh ini belum ada kata-kata putus yang terciprat keluar dari mulutmu atau pun mulutku. Tapi untuk apa tidak putus jika pada akhirnya kau telah menjadi istri orang lain. 

Lama kita membiarkan suasana lengang setelah kita saling mengangguk. Tanda sepakat dengan pernyataanmu itu. Hanya ada suara spatula yang bertabrakan dengan wajan manakala pemilik kantin mengolah pesanan kita. Serta suara televisi. Kita kompak mengarahkan pandangan pada televisi yang menggantung beberapa meter dari samping kita. 

Itu acara bincang-bincang. Narasumbernya salah seorang wartawan ternama berkepala plontos. Wartawan itu sudah tidak asing bagimu. Kau mengoleksi beberapa buku-bukunya. Aku masih ingat, kuyakin kau juga masih ingat. Wartawan itu bilang, "Ini ironis. Ada perguruan tinggi negeri di negara kita yang tidak memiliki perpustakaan..." Usai mendengar, emosimu kembali tersulut. Kalau sudah begitu kau tidak bisa menahan diri untuk tidak bertutur panjang lebar menyoroti hal demikian. Kau tidak hanya mengkritis Maria, tapi lebih dari itu. 

"Ini kampus negeri lho, sangat tidak wajar dan tidak bisa dimaklumi kalo tak punya perpus." Kau tidak henti-hentinya berucap bahkan ketika dua piring nasi goreng sudah berada di hadapan kita. 

Kau tidak tahu Maria, dan tidak pernah kuberitahu padamu. Salah seorang temanku juga kuliah di salah satu kampus negeri. Kenyataannya sama apa yang dituturkan wartawan itu, berstatus negeri tapi tak punya perpustakaan. Bahkan gedung kampusnya saja tidak cukup menampung mahasiswanya. Alternatifnya harus menumpang di gedung-gedung lain, misalnya di gedung sekolah SMA. 

Bahkan jalan ke kampusnya sangat memprihatinkan. Belum sampai di situ Maria, di sana juga kekurangan tenaga dosen. Ironis sekali bukan? Kita  beruntung pernah mengenyam perkuliahan di kampus yang berfasilitas mumpuni. Dibanding mereka yang menjadi tumbal tidak meratanya segala sesuatu di negeri ini. 

Kau sudah percaya kalau aku masih waras, Maria? Jika tidak, lain waktu datanglah padaku. Tapi kau seorang diri. Pastikan suamimu sedang berada di luar kota. Ada banyak rindu yang harus kau cabut dari diriku. Ada banyak keadaan di negeri ini yang harus kita bincangkan. Jangan bosan dan jangan sekali-sekali beranggapan itu hanyalah kesia-siaan.

Kata-kata kita memang tidak bakal mengubah keadaan. Tapi kata-kata kita bukan sekedar kata-kata. Kata-kata yang mempertegas posisi kita tidak bersama dan membenarkan mereka. "Lebih baik mati daripada menyerah pada kemunafikan," ucapmu padaku mengadopsi perkataan Shoe Hok Gie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun