Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Persetujuan dengan Bupati

21 Januari 2018   15:27 Diperbarui: 21 Januari 2018   18:22 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasia: mitrafm.com

Komar sekarang hanya bisa berandai-andai. Andai begini dan begitu mungkin ia tidak akan menjadi kuli. Bangun pagi pulang sore, berpeluh keringat.  Tenaga terasa tidak berdaya, tulang kayak mau rontok. Pengorbanan sedemikian dahsyatnya hanya dihargai 70-80 ribu perhari. Andai ia memiliki gelar sarjana, ia tidak akan bergelut di bidang yang satu ini. Paling tidak menjadi tenaga staf di kantor camat. Gaji bukanlah masalah, asalkan bisa mengangkat pamornya di mata masyarakat di bandingkan jadi kuli.

"Saya tidak menyangka nasibmu akan setragis ini, Mar. Kalau saya wajar jadi kuli. Wong hanya tamatan SD," ucap rekannya sesama kuli.

"Syukur-syukur kau tamat SD, Bung. Lha aku, hanya sampai kelas tiga. Tapi tetap disyukuri, toh aku bisa baca tulis hitung. Kalau saja tidak, akan gelap kupandangi dunia. Mungkin saja aku menjadi sasaran empuk pedagang-pedagang curang itu," ujar teman yang lain.

"Iya, si Toris kemarin menjadi sasaran empuk bininya. Lantaran jual cokelat ditipu si Haji Samsul,"

"Mengapa bisa?"

"Lantaran nggak bisa baca tulis dan hitung. Sudah timbangannya dikurangin. Ehh, duit yang diberi juga kurang. Kau taulah tabiat Haji Samsul itu, suka ngurangin timbangan. Kalau ia tahu kita buta huruf, dibodoh-bodohin kita kayak Si Toris," mereka cengar-cengir. Komar hanya diam enggan menggubris percakapan temannya itu. Sibuk mengaduk semen menggunakan sekop. Pelipisnya bejibun keringat.

"Mau sampai kapan, Mar jadi kuli?"

"Banyak-banyaklah berkaca pada kami ini, sudah bertahun-tahun jadi kuli hasilnya gali lubang tutup lubang."

"Saya saranin cepat temui Bupati. Tagih persetujuanmu dengannya." Mendengar perkataan temannya itu, Komar berhenti mengaduk semen. Ia menyingkir tanpa banyak kata. Duduk  di atas pondasi rumah yang mereka buat beberapa hari terakhir ini. Komar melepas topinya yang lembab. Wajahnya semakin hitam, tersengat matahari. Nafasnya memburu. Sesak ia rasakan ketika diperdengarkan persetujuan dengan Bupati.

Ia kembali merasakan kekecewaan manakala mengingat persetujuan dengan Bupati. Andai bisa, ia akan melenyapkan bayang-bayang tentang itu. Tak ada yang lebih menyakitkan dalam hidup Komar, selain mangkirnya Bupati dari persetujuan mereka. Sakit yang ia rasakan lantaran dihianati pacar, tidaklah seberapa sakit jika dibandingkan perasaannya remuk redam retak saat Bupati menghianati persetujuan mereka. 

Sebenarnya Komar sudah tidak ingin mengungkit lagi. Ia mencoba ikhlas dan membuangnya dalam lubang penglupaan. Namun ada saja oknum yang selalu menyinggung tentang itu. Seperti apa yang dilakukan saat ini oleh temannya sesama kuli. Kalau sudah begitu, Komar akan terbawa perasaan. Pikirannya melayang pada masa silam waktu masih sekolah dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun