Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Manusia Facebook

19 Januari 2018   09:39 Diperbarui: 19 Januari 2018   09:59 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.pulsk.com

 Nama itu disematkan pada dirinya. Lantaran ia sudah terlalu jauh meninggalkan statusnya sebagai makhluk sosial. Setiap hari ia hanya mengungkung dirinya dalam kamar. Jemarinya sibuk mengotak-atik notifikasi yang masuk ke smartphone-nya. Ia asyik sendiri bercengkrama dengan teman mayanya. Update status, tentang kata-kata mutiara yang disalin dari google. Tanpa membubuhi nama perangkainya. Ia dibuat bangga. Mengharap jempol teman-teman mayanya. Atau paling tidak ada yang memberi komentar. Kemudian ia balas. Komentar terakhir move chat. Maka mereka pun akan beranjak saling chatting.

Manusia Facebook setiap saat  mencurahkan hatinya dalam facebook. Seolah-olah setiap titik keberadaannya wajib bagi temannya tahu. Mulai di kamar, di ruang tengah, di dapur, di tempat tidur hingga di kamar mandi. Kala di rumahnya sedang ada menu makanan yang menarik, ia jepret kemudian dibagikan di facebook. Pernah suatu hari yang ada hanya ikan kering. Ia mogok pamer makanan. 

Ia telah dijangkiti kecanduan facebook garis keras. Karena waktunya lebih banyak ia habiskan dalam kamar. Ber-facebook ria. Sehingga ia sering direcoki. Bukan hanya keluarganya yang geram dengan perubahannya seperti itu. Tapi tetangganya pun begitu. Ia jarang lagi menyapu lantai, mencuci piring apatah lagi mau memasak. Kalau berurusan dengan facebook, ia kelewat rajin. Begitu bangun pagi ia langsung meraih smartphone-nya. Hingga pengantar tidurnya adalah facebook.

Sebelum ia memiliki smartphone. Ia tidak begitu-begitu amat. Sering berbaur dengan tetangga. Malahan tetangga senang dengannya. Tetangga kadang menitipkan anaknya padanya untuk dijaga. Karena memang ia senang dengan anak kecil. Kalau ada hajatan ia juga tidak pernah alpa untuk membantu. Namun semenjak ia mengenal facebook semuanya ia tanggalkan. Kemakhluksosialannya digadaikan. Ia menjadi pribadi individualis dan sangat egois. Wajar Ibu kerap marah. Pantas Kakak pusing tujuh keliling menghadapinya.

"Kalau saja kutahu kelak kau jadi begini. Tak akan mau dulu saya belikan kamu Hp," sergah Ibu melemparinya dengan bantal. Ia tidak peduli. Malah senyum-senyum memandangi layar smartphone-nya. Membaca chatting dari teman mayanya yang akhir-akhir mencuri perhatiannya.

"Cuci piring sana! Jangan main Hp mulu kerjaannya," giliran Kakak yang menegurnya. Ia masih tidak peduli. Terkesan orang budek. Siapa coba yang tidak jengkel kalau sudah seperti itu. 

Pernah suatu hari Kakak yang sudah meluap emosinya. Berniat untuk menghancurkan smartphone itu. Ia ingin banting ke lantai, saat mendapati smartphone itu sedang melakukan pengisian daya. Namun Kakak sadar, smartphone itu dibeli bukan perkara muda. Menghabiskan duit dua juta. Angka itu terbilang 'wah' bagi mereka hidupnya serba kekurangan.

Uang sebanyak itu diperoleh dari hasil penjualan jagung. Satu ton banyaknya dihargai dua jutaan. Karena ia menggerutu dan mengancam minggat dari rumah jika tidak dibelikan smartphone, sehingga dengan terpaksa Ibu dan Kakak menyerahkan padanya dua juta. Sisanya tinggal ratusan, mereka gunakan untuk membeli beras. Padahal tadinya hasil penjualan jagung itu ingin mereka pakai untuk membeli segala keperluan rumah tangga. 

"Sekarang kamu sudah punya Hp. Rawat baik-baik, jangan baru sebulan pemakaian sudah minta diservis. Ingat! Hp itu ada dari kerja keras, membanting tulang, berpeluh keringat," nasihat Kakak.  Tahu-tahu smartphone itu menjadi buah simalakama. Seolah ia dikutuk jadi pemalas. Hanya bisa mengungkung dirinya dalam kamar bercengkrama dengan teman mayanya.

Suatu hari ia kehabisan kuota. Sementara tidak punya uang untuk membelinya. Satu hari tidak buka facebook, lain-lain yang dia rasakan. Ia gelisah layaknya pecandu yang kumat kehabisan stok barang. 

Ia keluar rumah. Tetangga dibuat heran. Tumben sekali ia mau berbaur lagi, gumam mereka. Usut punya usut, ia minta disambungkan hotspot. "Giliran ada maunya, ia baikin kita," bisik mereka. Sebisa mungkin tidak terdengar olehnya, lagi sibuk mengendalikan samrtphone-nya yang tak henti-hentinya menciut. Lantaran notifikasi berhamburan masuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun