Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Karma

9 Januari 2018   07:00 Diperbarui: 10 Januari 2018   01:17 1648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia terlalu baik untukku. Seandainya aku tak sadar diri. Mungkin sejak dulu ia kukangkangi. Kusobek-sobek selaput daranya. Kuhisap aroma tubuhnya. Jangankan melakukan itu semua, bertukar air liur pun aku enggan melakukannya. Perempuan sebaik dirinya, tidak elok rasanya ditelanjangi. Ia pantas dijaga dan dibimbing. Bukan untuk dihancuri kemudian ditinggalkan pergi.

"Serius! Aku masih suci. Jangankan selangkanganku, bibirku saja belum pernah dielus oleh bibir laki-laki mana pun di dunia ini. Kamu masih belum percaya, hah? Atau kamu mau bukti? Sini lebih dekat denganku. Kita akan memulai segala sesuatunya sekarang," katanya suatu senja. Saat hujan deras menerjang, aku dan dia terkurung di dalam kamarku. 

Mendengarnya berucap seperti itu. Terlintas di benakku wajah adik perempuanku. Ya, aku memiliki adik yang cantik lagi manis dan sangat kusayang. Jika kuhancuri pacarku, kemungkinan karmanya akan menimpa adikku yang juga perempuan. Tentu aku tidak ingin jika adikku akan dikangkangi oleh laki-laki sebelum tiba saatnya. Makanya, karma itu sebisa mungkin kuredam. Nafsuku kukekang untuk tidak termakan bisikan setan, dan godaan pacarku yang kerap memberi kode untuk segera kusetubuhi.

Beruntungnya aku memiliki pacar sepertinya. Dialah yang membiayai uang semester kuliahku, saat orang tua di kampung dilanda paceklik. Bukan hanya itu, biaya tinggalku pun begitu. Hingga anggaran untuk kouta internetku semua ia yang urus. Andaikan tidak kularang, sesuatu yang lebih besar dari semua itu akan ia hadiahkan padaku. Bisa jadi mobil mewah. Orang kaya sepertinya, itu tidaklah terlalu sulit untuk diadakan.

"Hanya ada satu laki-laki yang kubiarkan selangkanganku ia koyak-koyak. Yaitu ialah kamu," katanya  di suatu senja di sebuah kafe elit. Saat kutanya padanya, alasan ia mau pacaran denganku. Sedangkan ia tahu sendiri aku hanyalah cowok miskin. 

"Cinta tidak butuh alasan yang muluk-muluk. Mungkin karena aku teramat percaya bahwa akulah tulang rusukmu," lanjutnya ia menyeruput kopinya. Kedua mata kami beradu. Kuremas tangannya, lalu kucium tangan mulusnya lagi wangi itu. Ya, hanya perbuatan mencium tanganlah yang paling lancang kulakukan padanya. Melumat bibirnya, mencium pipi atau keningnya belum pernah kulakukan. Wajah adik perempuan selalu terlintas setiap ada hasrat untuk main nakal pada pacarku. Jika aku mencium pacarku mungkin saja di kampung adikku akan dicium oleh laki-laki sebelum tiba saatnya.  Aku tidak ingin kalau sampai itu terjadi.

Aku tidak khawatir sama sekali jika kucium tangan pacarku. Sebab adikku tidak memiliki tangan. Tidak mungkin ada laki-laki yang mau mencium tangan perempuan yang tidak memiliki tangan. Tapi adikku punya wajah yang cantik, payudara indah, dan selangkangan yang mungkin ditumbuhi bulu yang rimbun dan terawat. Makanya tidak akan pernah kusentuh milik pacarku sebelum tiba saatnya. Karma selalu menghantuiku. Jangan sampai perbuatan nakalku berbuah karma sampai pada adikku. 

"Apa yang membuatmu enggan meyentuhku? Jijikkah kau denga tubuhku. Lihatlah tubuhku masih utuh, belum pernah disentuh oleh laki-laki mana pun di dunia ini," katanya di kamar  malam itu. Kupalingkan wajahku saat ia mencoba membuka pakaiannya. Sebelum ia berlanjut melepas tali kutangnya. Dalam keadaan mata tertutup, kupasangkan kembali bajunya yang terlanjur ia lepas. Setelah semuanya tertutup. Kubuka mataku, ia cemberut. Kukecup tangan mulusnya.

"Akan ada saatnya kita melakukan itu. Sabarlah!" Mendengar perkataanku wajahnya berseri-seri. Hanya dengan harapan-harapan yang kuberikan. Ia akan kembali jadi baik. Begitulah pacarku. Mungkin hanya dialah satu-satunya pacar di dunia yang terang-terangan meminta pada pacarnya untuk menyetubuhinya. 

Kejadiannya di malam itu. Saat kami sudah janjian ingin menghadiri acara pementasan puisi di taman kota. Di sana akan hadir beberapa komunitas. Aku sudah menyusun segala sesuatunya. Aku akan tampil di depan khayalak. Membacakan puisi spesial buatnya. Ya, hanya dengan menyanjungnya melalui rangkaian kata-kata aku bisa mengimbangi perbuatan baiknya selama ini. Namun semuanya tidak sesuai rencana. Hujan kembali menampakkan keganasannya. Malam itu kami terkurun di rumah kontrakanku.

Semakin hujan itu ditunggu redahnya, semakin pula ia menumpahkan segala amarahnya. Cuaca dingin, hujan ganas, angin kencang sukses membuat perut kami keroncongan. Ia menghubungi jasa penyedia makanan. Kudengar perdebatan kecil antara pacarku dengan penyedia makanan itu. Nanti hujan reda baru diantar katanya. Tapi pacarku tidak mau. Pokoknya saat itu juga harus diantar. Setelah negosiasi harga akhirnya penyedia makanan itu mengalah. Ia mematok harga lima kali lipat dari harga semestinya. Semua itu tidak masalah bagi pacarku, hartanya tidak akan berkurang jika hanya dihadapkan urusan tetek bengek makanan. Membeli pulau terluar di negeri ini pun yang jauh dari sentuhan tangan pemerintah, pacarku sanggup. Bahkan andaikan ia mau menjadi anggota dewan sekalipun. Ia akan melanggeng mulus. Toh, punya banyak uang. Apalagi dizaman bobrok sekarang ini. Hak suara bisa dibeli dengan selembar uang biru atau uang merah. Ah, demokrasi payah. Semua gila uang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun