Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Pulangnya Aristoteles Muda

11 November 2017   19:06 Diperbarui: 12 November 2017   19:24 2317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (@kulturtava)

Celoteh Dinal yang tak ada habisnya mewarnai waktu sore Elika di pinggir jalan yang sedang menunggu angkot. Elika sama sekali tidak bosan mendengarnya.

Laki-laki aneh itu benar-benar berhasil mencuri perhatian Elika. Padahal kalau dipikir-pikir, penampilannya ala kadarnya saja. Tampannya biasa-biasa saja. Jauh di belakang ketampanan yang dimiliki Tom Cruise, satu-satunya aktor yang Elika idolakan . Entah kenapa, setiap untaian kata yang terucap dari bibir Dinal, ia benar-benar menyimak dan terpikat. Bahkan ia tidak ingin melewatkan satu kata pun jika Dinal sedang berbicara. Disamping  menganggap Dinal teman yang baik, dia juga menganggapnya sebagai guru walaupun Elika enggan mengatakannya di hadapan Dinal. Ada banyak pelajaran kehidupan yang dipetik Elika tatkala bersama Dinal.

Dinal adalah satu dari sekian laki-laki yang beruntung di dunia ini. Dan tidak berlebihan kalau dikatakan ia adalah satu-satunya laki-laki beruntung yang bisa merampas waktu malam Minggu Elika. Padahal Elika tipikal wanita yang phobia dengan laki-laki yang bertamu ke rumahnya di malam minggu. Tapi tidak dengan Dinal, bahkan sebelum Dinal menghilang dari kehidupannya, hampir setiap malam Minggu ia bertamu ke rumah Elika. Karena baginya Dinal sosok laki-laki yang beda, sangat banyak bedanya dengan laki-laki kebanyakan yang dikenalnya.

Ada satu momen yang paling Elika ingat saat bersama Dinal, dan sampai kapan pun momen itu tidak akan terlupakan. Saat itu, menjelang malam. Matahari mulai kepembaringan, spektrum langit pun tampak mulai kabur. Tidak satu pun angkot berlalu lalang di jalan. Kebetulan beberapa jam sebelumnya jalan itu diblokade pendemo. Entah mereka menuntut apa lagi, sampai-sampai demo anarkis terjadi. Konflik antara pendemo dan aparat tak terhindarkan lagi. Kejadian seperti itu memang sering terulang di negeri ini.

Tanpa ada rasa bosan tergambar dari raut wajahnya. Dinal masih setia menemani Elika menunggu angkot. Malahan sudah menjadi kebiasaan di antara mereka, jika kebetulan jadwal kuliahnya bersamaan.

"Kayaknya angkot tidak ada lagi. Malam pun tampak semakin dekat. Apa tidak sebaiknya kamu naik ojek saja?" Tanya Dinal yang duduk di samping Elika pada sebuah bangku panjang yang tertanam dipinggir jalan.

"Kamu tahu kan, aku tidak bisa naik ojek sembarang. Apalagi orangnya nggak saya tahu. Takutnya nanti saya diapa-apakan."

"Itu sangkaan kamu saja. Bagiku semua tukang ojek itu baik dan tidak akan mungkin mencelakakan pelanggangnya. Kalau pun ada seperti yang kau sangkakan itu bukan tukang ojek sungguhan, tapi tukang ojek ecek-ecek."

Elika hanya terdiam. Beberapa kali ia menatap jam yang melekat di pergelangan tangannya.

"Andaikan saja aku punya motor, tentu dari tadi kamu sudah sampai di rumahmu," ucapan Dinal seperti itu sering terulang saat lagi menemani Elika menunggu angkot.

Hebatnya Dinal yang tidak pernah kehabisan ide. Dugaannya angkot tidak akan ada lagi. Dia menuju ke pangkalan ojek yang hanya berjarak seratus meter dari posisinya semula. Kebetulan di pangkalan itu hanya tersisa satu tukang ojek, itu pun sudah ingin pulang. Terlihat ia mulai menstarter motornya. Dengan sigap Dinal mencegatnya. Kejadian itu tak luput dari pandangan Elika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun