Esoknya pun Dinal tak nampak lagi, bak hilang ditelang bumi. Kamar indekosnya tertutup rapat-rapat. Di kampus pun tidak ada kabar. Sebulan, dua bulan bahkan dua tahun kemudian, kabar Dinal tidak terdengar lagi. Elika tidak bisa menutupi perasaan rindunya akan sosok laki-laki aneh itu.
Bagi Elika, Dinal ada sosok aktivis, kritis dan idealis. Ia penganut paham sosialisme garis keras. Banyak kelebihan dari diri Dinal, sayangnya semua itu tidak diakui orang-orang. Â Elikalah orang pertama dan terakhir mengakui kehebatan tersembunyi yang ada pada Dinal.
"Lik, kau tahu Sutan Syahrir? Soe Hok Gie? Mereka itu tokoh pemuda yang berhaluan sosialis. Dan aku pun berpihak pada mereka."
"Lik, berpuluh-puluh tahun kita merdeka, kata sejahtera masih jauh dari pengharapan. Aku sangat kecewa, Lik akan hal itu. Bagiku yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat."
Paling membuat Elika bingung, kenapa Dinal yang idealis nan kritis tak ingin berorganisasi. Hal tersebut pernah ditanyakan padanya, Dinal menjawab.
"Lik, adakalanya kita sebagai makhluk individualis dan ada saatnya sebagai makhluk sosial, kedua hal tersebut tidak bisa dipungkiri lagi. Namun perlu saya tekankan padamu, takutnya nanti ada dusta di antara kita. Selama ini mungkin kamu tidak tahu alasanku kenapa tidak bergabung satupun organisasi di kampus kita. Alasan yang pertama, mungkin saya memang ditakdirkan untuk tidak ikut organisasi manapun. Buktinya di matematika saya dikucilkan dan dianggap mahasiswa sastra. Dan di sastra, saya dianggap tak berbakat malahan diakui lebih cocok bergabung sama anak filsafat. Lain lagi di filsafat saya malahan sangat diakui sebagai matematika bangat.
Memang begitu cara mereka memperlakukan aku. Di himpunan eksternal kampus pun saya dituduh pengacau, perusuh, malahan dianggap serpihan-serpihan PKI. Alasan yang kedua, saya ingin buat organisasi sendiri. Saya kira kamu sudah mengerti."Â
Sedari kecil Dinal memang dianggap sebagai keturunan antek-antek PKI, kakeknya anggota PKI ulung yang selamat dari pembantaian. Hal itulah yang membuat ia dikucilkan di lingkungannya. Bahkan saat  mendaftar SMA dulu, ada lima sekolah yang menolaknya dengan alasan yang sama. Di kampus pun begitu, ia dikucilkan layaknya orang asing. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang salah dengan dirinya?
"Lik, sebenarnya bukan saya tak suka demo untuk menyuarakan aspirasi, saya diam bukan berarti menerima mentah-mentah semua kebijakan pemerintah. Mungkin kau tidak tahu kalau dalam diriku ada banyak keresahan, ada banyak keinginan, ada banyak unek-unek yang telah lama saya simpan sendiri. Untuk saat ini saya belum bisa, terasa mulut saya dibungkam oleh mereka. Tapi percayalah! Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan kesempatan kepada saya untuk berbicara, membela hak-hak rakyat. Melawan pemerintah yang sewenang-wenang menindas rakyat kecil. Melawan mereka para koruptor sang perampok uang rakyat."
Dinal terdiam beberapa detik saja, Â kemudian melanjutkan celotehnya.
"Hidup ini sejatinya seperti kepingan-kepingan puzzle. Untuk bisa utuh, terkadang kita harus mati-matian mencari potongan yang lain. Bisa jadi separuh  potongan kehidupanmu ada di seberang pulau sana dan di ujung negeri sana. Semuanya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, jauh sebelum kita lahir. Untuk bisa utuh kita harus berusaha menyatukannya. Kita tidak akan tahu banyak hal, jika kita hanya mentok di sini saja. Dunia sangat luas, Lik. Sungguh sangat ruginya kita, jika dunia yang luasnya sekian, hanya kota kecil ini yang bisa kita pijak."