Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nyanyi Sunyi Pdt Edy Sumartono (1969-2014)

10 April 2015   06:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyanyi Sunyi Pdt Edy Sumartono (1969-2014),

sebuah obituari

oleh Abdul Malik

MINGGU, 4/5/2014 saya dan istri saya Pdt Novarita, akhirnya diperkenankan Tuhan bersilaturahmi ke pastori GKI Tulungagung di Perum Wisma Indah, Kedungwaru. Kami berbincang dengan Ibu Eka Widyastuti, istri almarhum Pdt Edy Sumartono. Saya berkesempatan masuk ke ruang kerja Pak Edy Sumartono. Kamar kerja yang tidak terlalu luas. Penuh dengan buku dan makalah. Bendel  koran Kompas rapi tersusun diatas rak buku. Satu laci tempat menyimpan 6 judul buku yang telah terbit, juga beberapa bendel manuskrip puisi dan geguritan yang belum terbit. Satu dos di lantai berisi buku Kidung Di Kaki Gunung Raung, Sebuah Potret Komunitas Madura Kristen, Penerbit: Bina Media Informasi, Bandung, Oktober 2009. Jumlah nya cukup banyak. Selain menerima honor dalam bentuk uang tunai,  Pak Edy juga menerima honor dalam bentuk buku. Judul lain yang stoknya cukup banyak adalah Menatap dalam pusaran badai kelabu, sebuah renungan tentang kehidupan dan masa depan gereja pinggiran, penerbit Ink Media, Bandung, November 2006.

[caption id="attachment_409045" align="aligncenter" width="300" caption="Pdt Edy Sumartono (1969-2014), saat menjadi salah satu narasumber di acara Live In Samin di Bojonegoro.(dok.Satrio Hadi Mursiono Habibie)"][/caption]

Di rak buku-buku Pramoedya Ananta Toer terkoleksi dengan baik. “Lahir di kota yang sama dengan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer”, begitu yang tertulis di sampul belakang buku karya Pak Edy, Pak Pendeta, Buatlah Jemaat Stres !, Gloria Gaffa, Yogyakarta.2006.

Spirit Pramoedya Ananta Toer merasuk dalam tubuh Pak Edy Sumartono. Menulis dan senantiasa berpihak pada mereka yang terpinggirkan . Menulis adalah sebentuk pekerjaan yang membutuhkan keberanian dan mengandung resiko. Pramoedya Ananta Toer telah membuktikan hal tersebut. Tetralogi karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah  dan Rumah Kaca ditulisnya saat menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Saya termasuk orang yang terlambat membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Saat kuliah di Malang tahun 1987 saya baru membaca karya Pram. Seturut dengan apa yang dilakukan Pram, Pak Edy juga mengambil resiko dan keluar dari ‘zona nyaman’.  Saat Pak Edy melayani jemaat di GKI Tulungagung, yang termasuk dalam ‘gereja pinggiran’, Pak Edy melakukan telaah pada peran dan posisi gereja pinggian. Dalam kata pengantar buku  Menatap dalam pusaran badai kelabu, sebuah renungan tentang kehidupan dan masa depan gereja pinggiran,  Pak Edy menorehkan: Tulisan ini hanyalah sebuah renungan kecil atas kegelisahan terhadap keberadaan gereja pinggiran. Sebuah keresahan atas masa depan gereja pinggiran di tengah perubahan yang sedang terjadi dan yang akan terjadi. Kegelisahan terhadap masa depan gereja-gereja pinggiran yang terserak dan sering terlupakan. Gereja-gereja yang eksistensinya hanya terdengar ketika ada musibah atau ketika akan dijadikan obyek bakti sosial oleh gereja-gereja besar pada saat Natal atau Paskah. Jika tidak ada musibah maka gereja pinggiran hanyalah sebagai pelengkap bagi sebuah institusi gereja secara lebih luas, atau hanya sebagai pelengkap dalam persidangan-persidangan gerejawi. Masalah dan masa depannya tidak ada yang menyuarakan apalagi memperjuangkan. Dan setelah gegap gempitanya persidangan, terlupakanlah gereja pinggiran.

Sebuah otokritik yang berwibawa.

[caption id="attachment_409046" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Pendeta, Buatlah Jemaat Stres !, kumpulan humor segar di sekitar hidup para rohaniawan, penerbit Gloria Graffa, Yogyakarta, Juni 2006 (dok.Abdul Malik)"]

1428622020221879302
1428622020221879302
[/caption]

Saya termasuk orang yang terlambat membaca buku-buku karya Pak Edy. Juga terlambat mengenalnya dengan akrab.Saya sekali mengikuti khotbah Pak Edy di GKI Bromo. Sempat ngobrol saat beliau hadir di pernikahan saya di GKI Kebonagung. Saya bersyukur masih sempat berdiskusi selama dua hari dalam acara  Live in Samin di Dusun Jepang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro.(7 dan 8/1/2014). Seusai menyampaikan  makalah  Samin Sebagai Gerakan Perlawanan Terhadap Penindasan Belanda, kami berdiskusi hingga larut di ruang tamu rumah Mbah Hardjo Kardi. Pak Edy  bersemangat membahas buku-buku yang telah diterbitkan, juga humor-humor yang tiada habisnya. Humor-humor yang ada di tiga bukunya: Pak Pendeta, Buatlah Jemaat Stres !, kumpulan humor segar di sekitar hidup para rohaniawan (penerbit Gloria Graffa, Yogyakarta, Juni 2006), Bikin hidup lebih stress, mencerahkan kehidupan via anekdot (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009), Humor politik Pak Presiden, Buatlah Rakyat Stres (Penerbit Andi Publisher, Yogyakarta, Agustus, 2009).

[caption id="attachment_409047" align="aligncenter" width="300" caption="Menatap dalam pusaran badai kelabu, sebuah renungan tentang kehidupan dan masa depan gereja pinggiran, penerbit Ink Media, Bandung, November 2006 (dok.Abdul Malik)"]

14286220871576097427
14286220871576097427
[/caption]

Pak Edy seperti seseorang yang sedang menyiapkan sebuah perjalanan yang jauh. Saya, Daniel Kristanto, Asa Wahyu Setyawan M, dan beberapa kawan, menerima ‘gelontoran’  pesan dan gagasan Pak Edy yang belum terealisasi.Sebuah pertemuan yang berkesan. Sebuah pertemuan dengan bergelas-gelas kopi dan rasa bahagia. Pak Edy mengurai tentang komunitas Madura yang beragama Kristen, tentang sejarah kereta api, tentang  forum masyarakat Samin di Blora, Pati dan Bojonegoro, tentang keinginannya memiliki rumah dengan arsitektur seperti rumah Mbah Hardjo Kardi sesepuh  masyarakat Samin, tentag sejarah Blora yang ditulisnya untuk anak-anak, juga tentang rencananya menulis novel setelah emeritus. Saya masih ingat kata-kata Pak Edy, “Apakah sampeyan bisa menguruskan ISBN untuk buku-buku saya?”. Saya mengangguk.  “Baiklah, nanti tolong dibantu menerbitkan buku saya ya..” Saat diskusi saya memang mengaku mengelola Pustaka Banyumili, sebuah penerbitan indie di Mojokerto. Telah menerbitkan dua buku karya sastrawan Hardjono WS, masing-masing Panglima Perang dan Jalan Persimpangan. Juga terjemahan Teater Absurd karya Martin Esslin.

[caption id="attachment_409049" align="aligncenter" width="300" caption="Cerita Rakyat Dari Blora (Jawa Tengah), Penerbit PT Grasindo Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2009 (dok.Abdul Malik)"]

1428622251938367130
1428622251938367130
[/caption]

Sepulang dari acara Live in Samin yang diinisiasi oleh Departemen Oikmas Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klasis Madiun, saya mencari buku-buku karya Pak Edy. Pada tiga toko buku kristiani di Malang, saya tidak mendapatkan buku-buku karya Pak Edy. Ada satu toko buku yang mengenal nama Pak Edy lewat buku-buku humornya, namun stok sudah habis.

Baru pada Minggu, 4 Mei 2014, saya dan istri saya Pdt Novarita (satu alumni di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta), akhirnya diperkenankan Tuhan bersilaturahmi ke pastori GKI Tulungagung. Kami bersilaturahmi dengan Ibu Eka Widyastuti, istri almarhum Pdt Edy Sumartono dan tiga putra beliau: Widyka Canacantya (Caca), Widyka Kidunging Pangadhuh (Kidung), Sakramentali Wilasa Wastu (Sakra).

[caption id="attachment_409050" align="aligncenter" width="300" caption="Bikin hidup lebih stress, mencerahkan kehidupan via anekdot, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009 (sudah cetakan ke-5). (dok.Abdul Malik)"]

14286223481866268607
14286223481866268607
[/caption]

Baru hari itu saya mengoleksi 6 judul buku karya Pak Edy, termasuk Kidung Di Kaki Gunung Raung, Sebuah Potret Komunitas Madura Kristen, Penerbit: Bina Media Informasi, Bandung, Oktober 2009. Sebuah buku yang ditulisnya saat melayani di GKI Bondowoso. “Di Desa Sumberpakem Kecamatan Sumberjambe Kabupaten Jember Jawa Timur terdapat sebuah komunitas Madura Kristen. Mereka mengekspresikan imannya dan menghayati imannya dlam budaya Madura. Ibadah mereka baik doa, nyanyian dan khotbah menggunakan bahasa Madura. Mereka hidup di tengah-tengah komunitas Madura lainnya yang bukan Kristen. Mereka hidup sebagaimana lazimnya orang Madura. Mereka benar-benar orang Madura dan benar-benar orang Kristen sekaligus. Memang dilihat dari segi jumlahnya sangat sedikit dibanding keseluruhan jumlah orang Madura yang ada. Meskipun popularitas keseluruhan jumlah orang Madura Kristen sangat kecil dn tidak bertempat tinggal di pulau Madura, tetapi paling tidak kehadiran mereka memberi gambaran bahwa etnis Madura tidak homogen dalam keyakinan dn keagamaan. Ada heteroginitas keagamaan dalam suku Madura walau sangat kecil”, tulis Pak Edy dalam pengantar bukunya. Sebuah penelitian yang menarik ditengah kesibukan seorang pendeta yang memiliki libur di hari Senin. Saya belum pernah kesana, namun saya pernah ke komunitas Madura yang beragama Hindu di Dusun Bongso Wetan dan Kulon, Desa Pengalangan, Kecamatan Gresik. Saat itu ada pentas ludruk Karya Budaya Mojokerto. Profesor Barbara Hatley dari University of Tasmania turut hadir saat itu.

[caption id="attachment_409051" align="aligncenter" width="300" caption="Humor politik Pak Presiden, Buatlah Rakyat Stres,Penerbit Andi Publisher, Yogyakarta, Agustus, 2009 (dok.Abdul Malik)"]

14286224091863245117
14286224091863245117
[/caption]

Memasuki ruang menulis Pak Edy Sumartono mengingatkan saya pada suasana ruang menulis beberapa sahabat saya. Bapak Max Arifin (1936-2007) di Perumahan Japan Raya Mojokerto, Bapak Hardjono WS  (1945-2013) di Desa Jatidukuh Kecamatan Gondang Mojokerto, dan Mbak Ratna Indraswari Ibrahim  (1949-2011) di Jalan Diponegoro Malang. Terkenang juga saat saya bersama Fahrudin Nasrulloh dan Jabbar Abdullah ke rumah sastrawan Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) di Jl.Sumbawa  40 Jetis Blora (7/2/2009). Ada suasana dan spirit yang sama. Pemberontakan pemikiran, kegelisahan, sepi dalam keramaian, berani memilih diluar mayoritas, senantiasa kepingin keluar dari zona nyaman, tak henti-henti mencatat semua hal yang berkelebat dalam hidup.

[caption id="attachment_409052" align="aligncenter" width="300" caption="Kidung Di Kaki Gunung Raung, Sebuah Potret Komunitas Madura Kristen, Penerbit: Bina Media Informasi, Bandung, Oktober 2009 (dok.Abdul Malik)"]

1428622474709628319
1428622474709628319
[/caption]

Sebagai seorang pendeta, barangkali langkah Pak Edy terlampau cepat berjalan di depan. Namun bukankah demikian seseorang yang memiliki visi humanis. Pdt Edy Sumartono telah berpulang namun karya dan pemikiran Pak Edy Sumartono tetap menjadi sumber inspirasi. Rest in peace.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

(Rumah Kaca, Pramoedya Ananta Toer, 1925-2006) (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun