Mohon tunggu...
Paulus Ibrahim Kumentas
Paulus Ibrahim Kumentas Mohon Tunggu... Guru - Suara dari Ujung Celebes

Curhat seorang suami, ayah, pengacara, guru, hamba Tuhan, agen asuransi jiwa, dan rakyat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lampiran Perpres dan Cap Tikus

2 Maret 2021   23:59 Diperbarui: 3 Maret 2021   00:26 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika Perpres No 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal diterbitkan, saya sangat berharap bahwa Perpres ini akan mengurangi penyalahgunaan minuman keras, khususnya Cap Tikus di Sulawesi Utara.

Pernyataan di atas mungkin kontradiktif dengan suara mayoritas orang di luar sana, khususnya di luar Sulawesi Utara yang justru menganggap bahwa Perpres tersebut, khususnya di bagian lampirannya justru akan membuat bangsa ini akan tenggelam dalam kemabukan.

Begitu kuatnya anggapan tersebut, sehingga banyak pihak yang meminta Presiden Joko Widodo untuk mencabut khususnya bagian lampiran dari perpres tersebut, dan akhirnya pada tanggal 02 Maret 2021, Presiden Joko Widodo resmi mencabut lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021.

Apa sih sebenarnya isi  lampiran Perpres tersebut yang membuat banyak orang menolak lampiran tersebut?  Lampiran tersebut memuat daftar bidang usaha yang bisa melakukan penanaman modal dengan persyaratan tertentu, dan di nomor urut 31 -- 33, di situ ada jenis industry minuman keras mengandung alcohol, minuman mengandung anggur, dan minuman mengandung malt sebagai industry yang dapat melakukan penanaman modal di provinsi Bali, NTT, Papua, dan Sulawesi Utara.

Kembali ke pernyataan awal dalam tulisan ini.  Minuman Keras khususnya Cap Tikus merupakan minuman tradisional Minahasa yang sudah diproduksi secara turun temurun dari ratusan tahun yang lalu.

Cap Tikus awalnya merupakan minuman untuk menghormati tamu, dan juga hanya diminum satu sloki di pagi hari untuk menghangatkan tubuh di pagi hari, dan sekaligus juga dipercaya untuk meningkatkan stamina dalam bekerja di ladang / kebun.

Sayangnya, dalam dasawarsa terakhir, minuman tradisional ini justru banyak kali menjadi awal malapetaka dalam kehidupan sosial masyarakat Sulawesi Utara.

Kompas pernah menurunkan laporan bahwa 15% angka kecelakaan lalu lintas, dan 70% Peristiwa kriminalitas  di Sulawesi Utara diawali oleh miras. Klik di sini

Mengapa ini bisa terjadi? Karena miras, khususnya Cap tikus dapat diperoleh dengan mudah dan murah di Sulawesi Utara.  Berbagai macam cara sudah pernah dipakai oleh pemerintah daerah, dan juga instansi lain seperti kepolisian untuk bisa menekan laju konsumsi miras di Sulawesi Utara tetap tidak membuahkan hasil, bahkan bisa menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat dalam hal ini petani saguer yang menghasilkan bahan baku cap tikus.

Berbagai peristiwa penikaman, penganiayaan, pembunuhan, bahkan pemerkosaan sering terjadi dan berawal dari minuman keras. Bahkan bulan Februari lalu warga Sulawesi Utara dihebohkan dengan kasus pemerkosaan anak kandung, yang menurut pengakuan korban, diawali oleh sang ayah yang dalam keadaan mabuk.

Lampiran Perpres 10 Tahun 2021 sesungguhnya merupakan jawaban tepat untuk melepaskan masyarakat Sulawesi Utara dari cengkeraman miras (cap tikus).  Bila ada investor yang mau menanamkan modal untuk pengolahan cap tikus, dan dapat menghasilkan cap tikus yang berkualitas dan dapat dipasarkan dengan harga mahal, tentu saja para petani cap tikus akan menjual cap tikus hasil mereka ke pabrik, dan bukan lagi ke warung-warung kecil di kampong-kampung.

Dengan adanya industry cap Tikus dan langkanya cap tikus di warung kecil, otomatis cap tikus tidak lagi menjadi barang murah yang bisa dibeli seenaknya.  Pasar cap tikus akan dipersempit, tanpa mengurangi kesejahteraan petani saguer yang tetap bisa menjual hasil kebunnya dengan harga tinggi di pabrik cap tikus.  Cap Tikus hanya bisa diperoleh di toko-toko miras resmi atau klub malam yang membayar pajak tinggi kepada pemerintah.

Bila cap tikus sudah menjadi komoditi industry, maka penegakan hukum untuk penyalahgunaan cap tikus harus dilakukan dengan keras.   Jangan ada lagi kompromi.  Semua pihak yang menyalahgunakan cap tikus, baik itu pembeli, penjual, bahkan sampai produsen yang terlibat secara illegal harus dihukum berat.

Bila akses untuk mendapat cap tikus bisa dipersempit, maka penyalahgunaan miras/ cap tikus tentu akan jauh berkurang, dan angka kriminalitas, laka lantas, bahkan angka kehancuran rumah tangga juga akan berkurang.

Bagaimanapun juga keputusan Presiden Joko Widodo tetap harus ditaati.  Saya mengerti bahwa Presiden harus mengutamakan kestabilan politik dalam negeri di saat-saat seperti ini.  Jangan sampai hanya gara -- gara 6 halaman lampiran, beliau harus sibuk mengurus serangan serangan yang mendatangi kepemimpinannya.

Tapi kan boleh juga kalau saya berandai -- andai,

Andai ada industry cap tikus di Sulawesi Utara.......

Andai Cap Tikus harganya mahal.......................

Andai lampiran itu tidak dicabut............................

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun