Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

HGN dan Kesejahteraan Guru yang Tak Pernah Selesai

20 April 2020   20:19 Diperbarui: 20 April 2020   20:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Guru adalah sebuah profesi mulia. Kemulian profesi ini terletak pada tanggung jawab membentuk masa depan bangsa. Melalui tugas mendidik, guru menyiapkan dan mengembangkan potensi peserta didik untuk menghadapi masa depan mereka. Rasanya sulit membayangkan masa depan bangsa tanpa guru. Melalui tangan para guru, masa depan bangsa dilukiskan.

Sebagaimana kisah inspiratif bangsa Jepang, ketika kota Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom pada perang dunia II, Jepang hancur berkeping-keping. Banyak yang memprediksi Jepang akan mengalami kemunduran. 

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bagaiman tidak, di tengah kehancuran akibat perang, Kaiser Hirohito bertekad membangun kembali Jepang dengan bertanya, "Berapa guru yang masih hidup?" Mengapa bukan prajurit tetapi guru ditanyai? Sang Kaisar sadar bahwa melalui tangan para guru Jepang akan bangkit menjadi Negara yang disegani dunia.

Menyadari pentingnya peran guru, pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional. Keputusan ini adalah sebuah penghargaan atas dedikasi dan peran guru dalam mencerdaskan bangsa. Sejak saat itu, setiap tanggal 25 November semarak Hari Guru bergema di seluruh pelosok tanah air. 

Semua instansi pendidikan, baik negeri maupun swasta, entah di tingkat sekolah, kabupaten, provinsi maupun pusat, menggelar aneka kegiatan menyambut Hari Guru. Kegiatan seperti seminar; perlombaan dan atau pertandingan; talk show membicarakan nasip guru; puncaknya adalah upacara bendera selalu rutin digelar.

Hari Guru Nasional tahun ini telah diperingati Senin, 25 November lalu. Secara umum peringatan HGN pada tahun ini tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi ada hal yang menarik yaitu pidato Menteri Pendidikan menyambut HGN. Pidato tersebut bahkan menjadi viral saat dirilis dua hari sebelum puncak perayaan Hari Guru.

Pidato Mas Menteri ini memang tidak seperti lazim pidato pejabat yang panjang (bisa 4-5 halaman) dan bertele-tele. Pidato Mas Nadiem hanya 2 halaman saja. Namun bukan panjangnya pidato yang hangat diperbincangkan tetapi isi pidato yang disoroti. Diawal sambutannya, Mas Menteri langsung menohok dengan pernyataan tidak memberikan kata-kata inspiratif dan retorik, tetapi ingin berbicara dengan hati tulus, apa adanya.

Isi sambutan selanjutnya adalah ungkapan keprihatinan Mas Menteri atas kondisi ketidakadilan yang dialami guru selama ini. Guru lebih sering diberi aturan dibandingkan pertolongan. Guru lebih banyak menghabiskan waktu mengerjakan administrasi ketimbang membantu murid mengejar ketertinggalan. Semua yang disampaikan Mas Menteri dalam pidatonya memang benar adanya. Pada titik ini Mas Menteri patut mendapat pujian.

Namun ada satu soal yang luput dari perhatian Mas Menteri yaitu kesejahteraan guru.  Dalam pidato Mas Menteri yang dipuji banyak orang itu, tidak sedikit pun menyinggung kesejahteraan guru. Dalam pidato Mas Menteri terbaca bahwa kesejahteraan guru tidak menjadi perhatian utama. Padahal masalah kesejahteraan sungguh dialami dan dirasakan oleh guru.

Kesejahteraan memiliki korelasi positif dengan peningkatan kinerja yang tentu saja membawa dampak pada peningkatan mutu. Atau dengan lain perkataan, peningkatan mutu pendidikan akan terwujud bila kinerja kerja guru meningkat dan kinerja kerja guru dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan guru.

Ketika guru sudah sejahtera, dalam hal ini dapat memenuhi kebutuhan hidup dari upah upah yang diterima, mereka akan fokus membaktikan diri sepenuhnya untuk pendidikan. Sebaliknya, bila kesejahteraannya belum terpenuhi, guru tentu tidak total mengabdi. Kasarnya guru hanya memberikan "setengah" dirinya bagi pendidikan karena harus membagi waktu mencari tambahan penghasilan. Tidak heran guru harus melakoni profesi ganda: sebagai guru dan petani, sebagai guru dan tukang ojek, sebagai guru dan buruh. Semua itu dijalankan demi memenuhi tuntutan ekonomi karena gaji sebagai guru sangat tidak mencukupi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun