Banyak hal dalam hidup tidak pernah benar-benar pergi, kita saja yang terlalu cepat berlalu.
-Kukuh C. Adi Putra
Pada pagi yang biasa saja, aku menyeruput teh hangat yang juga biasa saja. Bukan dari daun teh premium yang dipetik di paling pucuknya. Ini teh pada umumnya, seduhan warnanya jujur dan harumnya pun tak berlebihan.
Tapi justru pada pagi semacam itu, kesadaran datang seperti tamu tak diundang. Dalam keheningan yang belum dijajah notifikasi, aku teringat wajah-wajah yang tak pernah masuk agenda harian. Wajah tukang sapu di sepanjang jalan, bapak-bapak tua yang duduk di pos ronda tanpa keperluan berarti.
Atau bahkan wajah diriku sendiri di usia 9 tahun, menunggu ayah pulang dengan bungkusan gorengan. Kebahagiaan paling murni yang tak butuh likes ataupun followers. Ada hidup yang tertinggal di sela-sela rutinitas, menunggu kita untuk sekadar menyapanya kembali. Seperti menyapa tetangga lama yang tiba-tiba muncul di pasar. Terkejut secara natural penting juga dilatih di dunia yang serba terukur ini.
Kita sering terlalu sibuk mencatat pencapaian, sampai lupa bahwa hidup bukanlah hasil, melainkan detik-detik kecil yang kita abaikan. Suara istri memanggil pelan dari dapur, tawa anak-anak tetangga yang melesat seperti kucing kampung, atau aroma tanah basah setelah hujan---semuanya sering kali lewat begitu saja.
Padahal bisa jadi, di situlah letak kebahagiaan paling jujur. Bukan pada gaji ke-13, bukan pada likes di postingan liburan, bukan pada event mewah tahunan. Tapi pada hal-hal kecil yang tak pernah kita unggah.
Ada masanya kita rindu sesuatu yang kita sendiri tak tahu apa. Kita menyebutnya "kosong" atau "hampa". seperti perut yang lapar tapi tak tahu mau makan apa. Tapi bisa jadi yang kita rindukan adalah diri sendiri yang dulu, yang pernah tertawa tanpa alasan dan menangis karena tidak dibelikan mainan.
Kita kehilangan versi polos dari diri kita, dan anehnya, kita tidak pernah benar-benar mencarinya kembali.
Banyak dari kita rajin belajar tentang cara jadi pemimpin, jadi inovator, atau jadi trainer bersertifikat. Buku-buku motivasi berjejer rapi di rak, seminar-seminar daring diikuti dengan semangat membara.Tapi berapa kali kita belajar menjadi manusia seutuhnya?