Mohon tunggu...
Muhammad Fachri Darmawan
Muhammad Fachri Darmawan Mohon Tunggu... Freelancer - Alma Matters.

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Serial "Telenovanto"

19 November 2017   19:01 Diperbarui: 19 November 2017   19:31 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Satu minggu terakhir, jagad pemberitaan, baik di media massa yang notabene "mainstream" sampai yang "medioker" baik cetak ataupun virtual, disuguhi oleh cerita yang dibuat atau diciptakan oleh Ketua DPR Indonesia, Setya Novanto. Ya, dengan adanya kasus terakhir, tiang lampu menjadi saksi bisu, kecelakaan sang ketua DPR. Entah disengaja ataupun tidak, ini sebuah cerita yang masuk dalam kategori komedi. Mungkin, kalau dijadikan sinetron, akan mendapatkan rating yang bagus, hehehe. Ya, kasus yang menjerat sang Ketua DPR, bisa dikatakan, kasus dengan korupsi skala besar yaitu, E-KTP. Sebelumnya Setya Novanto juga masuk dalam pusaran kasus "papa minta saham", yang juga bisa dibilang, permasalahan yang sangat sensitif yaitu, terkait dengan PT Freeport, dalam rangka memperpanjang "masa bakti" nyadalam melakukan kegiatan minerba di Indonesia.

Yap, dari mulai kasus "papa minta saham" sampai kecelakaan yang dialaminya, seolah-olah kita, publik, disuguhi oleh "telenovanto" yang melecehkan akal sehat kita sebagai masyarakat Indonesia. Memang, Setya Novanto tidak hanya masuk dalam 2 kasus itu saja, melainkan sebelumnya, ia terindikasi masuk dalam pusaran korupsi, tepatnya sebelum menjadi ketua DPR. Tetapi, hanya 2 kasus tersebut yang menyeret publik untuk ikut serta aktif dalam perbincangan politik dan hukum. Mulai dari tukang ojek yang nongkrong di warung kopi sampai mahasiswa yang berdiskusi di kafe.

Publik, seolah-olah dipertontonkan serial yang sangat apik dibuatnya. Kita semua tahu, tiada yang tidak terjadi secara sengaja di bumi ini. Bahkan kita lahir pun bukan atas dasar ketidaksengajaan, toh?. Dari kasus "papa minta saham", ia berhasil lolos dari MKD, dan menjabat kembali sebagai ketua DPR. Sama halnya seperti kasus terakhir yang menjerat sang Ketua DPR. Sebelum kecelakaan terjadi, ia juga sempat dirawat di rumah sakit Premier Jatinegara, akibat komplikasi kesehatan yang menjeratnya. Saat itu, ia sudah ditetapkan menjadi tersangka kali pertama. 

Dan ia pun mengajukan praperadilan mengenai penetapan tersangkanya oleh KPK, dan ia menang di sana. Setelah menang praperadilan, ia pun kembali sehat dan langsung bekerja sebagai ketua DPR kembali. Dan, 4 hari yang lalu sebuah kecelakaan terjadi bertepatan dengan dijadikannya ia sebagai tersangka korupsi E-KTP. Dan setelah ditetapkan menjadi tersangka, sampai-sampai penyidik KPK mendatangi kediamannya yang mewah itu, ia tidak berada di tempat. Keberadaannya seolah-olah hilang seperti debu yang diterpa angin kencang. Ia pun dijadikan DPO (daftar pencarian orang). Banyak spekulasi yang menyerebak, mulai dia kabur ke pelosok negeri hingga bersembunyi sampai praperadilan yang kedua dilakukan oleh tim pengacaranya diputuskan oleh hakim. 

Ya, di saat ia menghilang, ternyata, penetapan tersangka yang kedua yang dilakukan oleh KPK diajukan kembali ke praperadilan oleh tim pengacaranya. Lucu bukan? Ini semacam "dramaturgi" yang menyuguhkan kekuatan oligarki politik di Indonesia. Saya menjadi sangat sadar, bahwa peran oligarki di perpolitikan kita masih amat kuat bagi jalannya demokrasi politik dan hukum di negeri kita. Hanya karena 1 orang, peran dari lembaga Yudikatif, DPR, KPK, dan juga kepolisian, harus fokus terhadap kasus yang menimpa dirinya. But, dalam hukum memang, kita harus menempatkan perspektif, azas tidak bersalah terhadap seorang tersangka sampai ada keputusan incracht oleh pengadilan. 

Sekarang, apakah ia tidak bersalah secara etika dan moral? Nah, dalam kasus sang ketua DPR, apakah ia tidak bersalah secara etika dan moral? Sebagai ketua DPR, ia menjadi representasi dari 500 an anggota DPR dan juga sebagian masyarakat yang memilih ia sebagai anggota DPR. Secara etika sudah sepatutnya ia malu dengan rentetan peristiwa yang menerpa dirinya, bukan sakit atau kecelakaannya, tetapi peristiwa penetapan tersangkanya. Kenapa? Sebagai pejabat publik, mau ia menjadi tersangka ataupun terdakwa, ia harus mundur dari jabatan publiknya. Karena dengan kasus yang menimpanya, secara tidak langsung, pasti akan menimbulkan pecah fokus terhadap jabatan yang diembannya. Di satu sisi ia harus menjalani proses hukum, di sisi lain ia harus menjalani jabatan publiknya. Efektifkah jika bekerja seperti itu?. Dan yang lebih parah adalah, cap busuk yang akan disematkan oleh masyarakat terhadap lembaga yang ia pimpin. 

"Dramaturgi" yang tercipta, membuat kita bertanya-tanya, sebegini burukkah kualitas pejabat di negeri ini? Atau seberapa lacurnya pejabat-pejabat publik di negeri ini?. Saya rasa, ini mencerminkan, bagaimana bobroknya sistem pemilihan dalam rangka memilih pejabat publik di negeri ini. Bagaimana mungkin, seseorang, yang riwayat hidupnya, masuk dalam pusaran kasus korupsi bisa menjadi ketua DPR? Apakah ada yang salah dari fit and proper test yang dilakukan? Atau ini hanya pesanan politik penguasa? Semoga saja ini bukan keduanya. Karena kalau karena keduanya, ini menunjukkan tingkat ketololan dari pengampu kebijakan di negeri ini.

Kasus yang menjerat sang ketua DPR, tidak hanya bisa kita fokuskan dalam konteks 1 orang saja. Kasus E-KTP adalah kasus yang sangat "mega" ruangnya. Kalau dalam politik, ada pseudo politik. Yang di mana, kasus yang menimpa seorang atau segolongan, dapat dijadikan penutupan kasus yang lebih besar yang sedang terjadi. Bisa saja, kasus sang ketua DPR, ini menyangkut orang-orang besar yang kecipratan uang dari proyek tersebut, sehingga hanya sang ketua DPR yang dijadikan badut untuk mempertontonkan "dramaturgi" yang terjadi. Orang-orang besar dibalik itu semua bersiap-siap untuk memakai topeng malaikat untuk menghapus dosa-dosanya. Itu bisa saja terjadi, spekulatif memang, tetapi dalam politik, everything is speculative. Tidak ada yang tak mungkin dalam politik. Yang salah bisa menjadi benar dan yang benar bisa menjadi salah.

Tetapi, diluar spekukatif politik, akal publik sudah dilecehkan oleh "dramaturgi" yang sedang terjadi. Alur yang dibangun dengan plot yang tercipta, sangat menihilkan rasionalitas publik. Seolah-olah publik hanyalah boneka-boneka yang mudah dipermainkam dan digiring kesana kemari. Kalau ada kata yang lebih hina dari, hina, mungkin itu patut disematkan kepada sang ketua DPR dan juga orang-orang besar yang menciptakan "dramaturgi" ini. Dan kurang pas kalau tidak diberi judul pada "dramaturgi" ini. Judul yang apik adalah "TeleNovanto". 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun