Bertahun-tahun Asmoro hidup dalam amarah. Dari satu perkelahian ke perkelahian lain. Mengorbankan satu nyawa, dua, tiga, empat, hingga tak terhitung lagi jumlahnya.
Sampai akhirnya ia lelah dan memutuskan berhenti.
"Aku ingin hidup dalam kedamaian," ujar Asmoro suatu waktu.
Ia pun pergi menuju Desa Mahamarah guna berguru pada seorang bijak. Pria tua pemilik sebuah padepokan yang dikenal lihai menepikan nyali dan lebih memilih menggunakan hati.
"Aku ingin belajar berempati seperti dia," tambah Asmoro.
Berbulan-bulan Asmoro berguru pada pria bijak itu hingga tiba-tiba muncul penolakan sekelompok orang yang menilai pria tua itu telah menistakan agama. Karena telah membaurkan Tuhan mereka dengan Tuhan lainnya. Hingga cair tidak berbatas.
Berhari-hari mereka kemudian berunjuk rasa di depan padepokan, disertai teror umpatan, makian, ludahan, hingga lemparan kotoran anjing.
"Karena penista layak mati seperti binatang!" demikian mereka berteriak-teriak di depan padepokan.
Menghindari ketegangan lanjutan, aparat bertindak dengan mengamankan sang pria bijak. Membawanya ke kantor kepolisian setempat.
Saat itu pula pagar amarah Asmoro runtuh. Darahnya menggelegak. Tangannya terkepal. Kalian menghinakan masa laluku, katanya.
"Seolah-olah hanya kalian yang bernyali."