Mohon tunggu...
Kiki Sosali
Kiki Sosali Mohon Tunggu... Freelancer - Humanity Enthusiast

Literary, Movies and News Enthusiast. Hidupnya berputar dalam 3 figur-Dostoyevsky, Martin Scorsese, dan Albert Camus. Menganggap komedian adalah politisi terbaik, dan politisi adalah penutur lawak paling ajaib

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Simbiosis Facebook dan Negara Dunia Ketiga: Mutualis atau Parasitis?

13 April 2019   21:05 Diperbarui: 13 April 2019   21:23 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan paket internet sebuah provider di Myanmar, dimana tagline utamanya adalah layanan Facebook 1 GB bagi pembeli paket tersebut. Sumber:BBC

November lalu, kantor berita terkemuka New York Times menurunkan kabar digunakannya media sosial Facebook sebagai platform bagi kaum militer dan warga sipil di Myanmar untuk "memecah belah dan menyebarkan kekerasan secara nyata" (NYT).

Menurut laporan yang disusun oleh analis Business for Social Responsibility yang berbasis di San Fransisco dan disewa secara langsung oleh Facebook, telah nampak terlihat bagaimana perusahaan tersebut lalai dalam menganalisa potensi penggunaan aplikasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, dan tidak melakukan langkah-langkah lebih jauh guna menganalisis kejadian di lapangan.

Kabar ini membuktikan hipotesa yang telah lama dihembuskan para pakar: bahwa media sosial (dimana Facebook menjadi aktor utamanya, mengingat populasi penggunanya yang terus meningkat dan adanya kemudahan dalam membuat akun baru dengan nama palsu) digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah masyarakat dan menyulut kekerasan. 

Hal ini juga dikatalis oleh makin populernya ideologi ultra  nasionalis di berbagai negara di dunia, yang pada akhirnya melahirkan pemimpin berkarakter anti-asing seperti Jair Bolsonaro di Brazil. Meski demikian, hubungan Facebook dengan kampanye kekerasan nampaknya jauh lebih terasa di negara dunia ketiga, seperti di Sri Lanka dan Filipina.

Hal ini terjadi karena masyarakat di negara tersebut masih belum sepenuhnya melek teknologi, sehingga mereka hanya mengasosiasikan internet dengan Facebook semata. Ditambah dengan kecenderungan ponsel masa kini yang telah dipasang Facebook sebagai aplikasi bawaan, maka tak heran, banyak yang hanya mengandalkan media sosial tersebut sebagai satu-satunya sumber memperoleh berita. Tak ayal, dengan mudahnya berita bohong (hoax) dan informasi tak terpercaya masuk ke dalam benak masyarakat dan dipercayai sebagai kebenaran.

Sudah lama Facebook menutup-nutupi kabar tersebut, bahwa dirinya telah digunakan pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan ideologi anti-asing mereka. Namun berbagai laporan, baik dari pihak independen maupun yang disewa sendiri oleh Facebook, membuktikan ketidakmampuan perusahaan untuk menanggulangi maraknya kabar bohong. Salah satu kendala utama adalah bahasa.

Facebook telah mempunyai setidaknya 2 triliun pengguna yang berkomunikasi dalam berbagai bahasa. Akibatnya, dalam mengatasi masalah penyebaran hoax, sudah selayaknya perusahaan menyewa penerjemah yang berpengalaman dalam bahasa lokal untuk menganalisis hoax. Inilah yang belum dilakukan dengan maksimal oleh Facebook, dan inilah salah satu pemicu tidak terkontrolnya arus berita bohong di media tersebut.

Myanmar adalah salah satu korban dari kekurangefektifan tersebut. Negara itu baru saja mengalami demokrasi pada 2015 lalu, setelah sebelumnya berada di bawah junta militer selama 15 tahun. Dan tiba-tiba, masyarakatnya yang baru saja merasakan demokrasi sudah dihadapkan pada penyebaran informasi yang tak terkontrol melalui media seperti Facebook. Ini menyebabkan siapapun bisa membuat berita bohong.

Bahkan militer sekalipun. Oktober lalu, New York Times melaporkan bagaimana militer Myanmar menggunakan akun-akun palsu untuk menyebarkan kebencian, khususnya ditujukan pada kaum Rohingya dan Islam minoritas, diantaranya dengan mengaku menjadi korban kejahatan kaum Rohingya. Hasilnya, warga dengan mudahnya akan percaya. Facebook bahkan mengaku bahwa pengikut akun-akun militer provokatif tersebut telah mencapai angka jutaan. 

Tentu saja, ini bukanlah kejadian isolatif, di berbagai negara dunia ketiga dapat ditemui hal yang sama. Tak terkecuali di negara tercinta. Namun, beda dengan Myanmar, Indonesia telah memiliki regulasi yang ketat soal ujaran kebencian di internet, yakni UU ITE. Namun mendekati periode penting dalam perpolitikan Indonesia seperti sekarang ini, perundangan nampaknya tak banyak memberi pengaruh preventif. 

Ini terbukti dari data Okezone yang menyebutkan sepanjang 2017 hingga 2018 telah terdapat nyaris 4000 ujaran kebencian di media sosial, dengan kenaikan hingga 100 persen pada 2018 dibanding tahun sebelumnya. Lebih lanjut, CNN Indonesia menyebutkan bahwa hanya dalam rentang Mei hingga Juni 2018, empat ribu akun media sosial telah dihapus oleh Kominfo, setengan diantaranya berupa akun Facebook dan Instagram. Belum ada data terbaru tentang grafik ini, tapi dengan suhu politik yang makin memanas, rasanya tak salah jika memprediksi kuantitas akun hoax dan posting yang mengandung ujaran kebencian makin melambung.

Di tengah fenomena menakutkan yang laiknya ditarik langsung dari novel George Orwell ini, satu pertanyaan kini terlintas dalam benak. Facebook telah lama menggembor-gemborkan sebagai media yang menyatukan masyarakat, menghubungkan tanpa terikat jarak. Namun dengan kejadian seperti ini, apakah kita masih menyangkal mereka sebagai parasit di masyarakat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun