Mohon tunggu...
Ksatria Nusantara
Ksatria Nusantara Mohon Tunggu... -

Cinta NKRI, Berjiwa Merah Putih, Anti Penjajahan... Moerdeka ataoe mati!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Latar Belakang Pemberhentian Prabowo dari Dinas Militer

31 Mei 2014   18:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:53 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Banyak pihak (terutama kaum muda yang lahir setelah era reformasi tahun 1998) tidak memahami dengan baik latar belakang pemberhentian Prabowo dari dinas militer. Saat ini ketika kaum muda tersebut memiliki hak pilih dan Prabowo maju sebagai salah satu calon Presiden terkuat, kembali dimunculkan wacana negatif tentang pemberhentian Prabowo tersebut. Tujuannya tentu jelas, hendak mematikan karakter Prabowo melalui stigma negatif yang disusun dari kepingan peristiwa masa lalu yang diplintir kebenarannya. 
Stigma tersebut sengaja dibentuk dari drama kisah penculikan sejumlah orang pada tahun 1998. Drama kemanusiaan tersebut menjadikan Prabowo sebagai aktor utama pelakunya. Alur logikanya dibuat mudah dan sederhana agar dapat diterima oleh masyarakat. Telah terjadi penghilangan orang yang dilakukan oleh prajurit Kopassus. Belakangam tim tersebut dikenal sebagai Tim Mawar. Kebetulan saat itu Prabowo menjabat sebagai Komandan Kopassus. Ini menjadi pintu masuk bagi kisah stigmatisasi Prabowo selanjutnya. Pendek kata, semua kesalahan pada huru-hara saat itu dituduhkan pada Prabowo. Menanggapi hal tersebut, sambil bercanda saat itu Prabowo pernah berkata, "Orang putus pacaranpun saya bisa dituduh penyebabnya". 
Karena seriusnya masalah orang hilang pada saat itu, pemerintah membentuk tim khusus bernama TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang bekerja secara independen dan objektif. Selain TGPF, Komnas HAM, YLBHI, ELSAM, LBH-APIK dan RELAWAN juga dilibatkan untuk meneliti adanya dugaan pelanggaran HAM pada kasus orang hilang tersebut. Oleh karena kasus tersebut melibatkan militer, pada bagian hulu kasus ini berakhir di Mahkamah Militer.
Dari semua hasil penyelidikan TGPF, Komnas HAM dan Mahkamah Militer (Mahmil) tidak ditemukan adanya bukti perintah kekerasan saat interogasi Tim Mawar. Itulah sebabnya, pengadilan Mahmil hanya memberi hukuman kepada Tim Mawar, tidak kepada Prabowo Subianto. Ini merupakan bagian terpenting yang dilupakan, diabaikan atau sengaja ingin dihilangkan oleh pihak tertentu.
Kemudian dari laporan TGPF tertanggal 23 Oktober 1998 (Lihat dalam : http://semanggipeduli.com/tgpf/laporan.html) disimpulkan antara lain (lihat Bab VII laporan TGPF) :
"TGPF meminta pemerintah menyelidiki pertemuan Makostrad 14 Mei 1998 dan meminta pemerintah menyelidiki peran Prabowo Subianto pada Kerusuhan Mei 1998".
Pemerintah lalu merespon hasil laporan TGPF tersebut dan melakukan penyelidikan lanjutan secara mendalam, dan hasilnya dikeluarkan dalam bentuk dokumen Sekretariat Negara 13 September 1999.
Dokumen ini ditandatangani Mensesneg Muladi. Semula, Muladi merupakan pihak yang keras menuduh Prabowo terkait Kerusuhan Mei 1998. Namun fakta penyelidikan pemerintah mengatakan kalau Prabowo tidak terkait dengan Kerusuhan Mei 1998.
Tertulis jelas bahwa hasil penyelidikan pemerintah dlm merespon laporan TGPF menyatakan : 
Poin a“Tentang dugaan keterlibatan Letjen TNI Prabowo Subianto dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, berdasarkan penyelidikan yang kami lakukan ternyata tidak terdapat cukup bukti yang memperkuat dugaan tersebut.”
Poin b “Kepada para pelaku penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa Trisakti telah diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan kepada mereka yang terbukti bersalah telah dikenakan sanksi hukuman berdasarkan Putusan Hakim sesuai dengan tingkat kesalahannya”
Dari fakta tersebut, hasil penyelidikan TGPF bersama Komnas HAM, elemen masyarakat dan pemerintah juga militer, menyimpulkan bahwa PRABOWO TIDAK TERKAIT dengan segala hal yang dituduhkan padanya. Sementara, pihak-pihak yang bersalah dan terkait dengan penculikan, kerusuhan , penembakan telah diberikan sanksi.
Melihat kesimpulan TGPF 1998 dan dokumen Sekneg 1999 yang secara ekplisit menyatakan bahwa PRABOWO TIDAK TERLIBAT DALAM KASUS PENCULIKAN DAN PERISTIWA KERUSUHAN MEI 1998, maka yang harus dipertanyakan adalah: 
Mengapa DKP (Dewan Kehormatan Perwira) merekomendasi pemberhentian Prabowo dengan pertimbangan keterlibatannya dalam penculikan dan kerusuhan Mei 1998?
Mengapa saat itu Panglima ABRI (sekarang TNI) Jenderal Wiranto atas desakan Habibie buru-buru menerbitkan surat pemberhentian Prabowo dari dinas militer?
Lebih aneh lagi, putusan DKP tersebut justru bertentangan dengan prosedur tetap yang berlaku baku di militer. Bahwa berdasarkan Skep Pangab 838/III/1995 tentangg DKP (Dewan Kehormatan Perwira) diputuskan DKP dibentuk setelah adanya putusan hukum dari Mahkamah Militer dan anggota DKP minimal 3 orang perwira berpangkat satu tingkat lebih tinggi.
Disini terlihat sangat jelas bahwa keputusan DKP hanya berupa sanksi administratif untuk menentukan hukuman tambahan bagi perwira yang telah divonis oleh Mahmil.
Dalam kasus Prabowo keberadaan dan rekomendasi DKP tidak sah, karena dibentuk sebelum adanya putusan hukum dari Mahkamah Militer, dan Anggota DKP hanya 1 orang yang pangkatnya lebih tinggi dari Prabowo, yaitu Kasad Jenderal TNI Subagio HS. Putusan tersebut menjadi cacat, karenanya bisa dibatalkan demi hukum.
Jika publik sedikit jeli mencermati, peristiwa pemecatan Prabowo dari dinas militer tidak murni soal pelanggaran hukum militer, karena memamg faktanya tidak ada hukum militer yang dilanggar Prabowo. Sanksi yang dijatuhkan pada Prabowo merupakan peristiwa politik. Politik para Jenderal yang sangat takut dengan Prabowo. Setidaknya ketakutan tersebut bersumber dari 3 hal :Pertama, Prabowo menantu Presiden Soeharto saat itu, masih diyakini memiliki kekuatan politik yang solid.
Kedua, Prabowo memiliki karir cemerlang yang sudah dikenal sejak di akademi militer.  Kecerdasan Prabowo tersebut bahkan diakui oleh luar negeri.
Ketiga, Prabowo memiliki jiwa sosial dan sifat dermawan yang tinggi, terutama di kalangan militer saat itu bahkan hingga kini. Hal ini tentu menimbulkan loyalitas luas di kalangan prajurit terhadap Prabowo. 
Atas dasar itulah Prabowo dianggap sebagai ancaman nyata, karena itu harus segera 'dimatikan'. Jika tidak, Prabowo bisa menghambat karir Jenderal yang haus pangkat, jabatan dan kekuasaan tersebut.
Perencanaan tersebut menemukan momentumnya saat reformasi. Saat situasi sosial sedemikian rupa membenci Soeharto dan Prabowo adalah menantu Soeharto maka dengan mudah opini digerakkan bahwa Prabowo bagian dari Soeharto. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para Jenderal di sekitar Soeharto untuk memecat Prabowo agar mereka mendapat simpati rakyat karena mereka bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Keberanian memecat Prabowo di saat Soeharto masih menjadi Presiden dilakukan karena mereka paham Soeharto tidak dapat lagi dipertahankan. 
Prabowo merupakan korban konspirasi para Jenderal di sekitar Soeharto. Terhadap peristiwa tersebut, Prabowo memilih menepi dari hiruk pikuk politik dalam negeri. Namun jiwanya tetap untuk merah putih, isi kepalanya hanya ada NKRI, ideologinya Pancasila sakti. Beberapa tahun kemudian, Prabowo bangkit kembali karena bisikan ibu pertiwi yang acap mengganggu mimpi. Saat ini Prabowo hadir membawa harapan baru, harapan seluruh rakyat Indonesia yang ingin maju. Harapan itulah yang diganggu oleh Jenderal masa lalu karena takut dengan Prabowo yang menggebu ingin menjadikan Indonedia baru yang berdaulat dan maju MENJADI INDONESIA RAYA.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun