Jerman dengan Mobil Listrik
Kembali ke Jerman, sebagai Negara yang paling banyak penduduknya se Eropa (EU). Mobil listrik di Jerman memang tidak segemilang di Norwegia. Tentu, satu dua mobil listrik sudah bisa terlihat di pojok kota Jerman sedang dicharged. Tapi harga mobil listrik di Jerman relatif lebih mahal dari mobil bensin atau diesel (kecuali mobil hasil kreasi seorang Profesor dari RWTH Aachen dan teamnya harganya cukup terjangkau) dan bila pun mampu membeli yang mahal, waktu tunggunya lama.
Dan di sisi lain, ada juga kekhawatiran dari para pakar energi Jerman bila dalam satu daerah lebih dari 100 mobil saja diisi dalam waktu bersamaam, maka kemungkinan ngejepret alias black out itu besar.
Wah ... mati lampu di Jerman sangat tidak menyenangkan. Saya pernah mengalami satu kali selama hampir 20 tahun hidup di Jerman, pada tahun 2005, karena kerusakan penghantaran listrik disebabkan oleh musim dingin yang datang tiba-tiba dan dahsyat. Lemari es mati, yang artinya semua persediaan makanan seminggu rusak, tidak bisa masak atau rebus air karena di Jerman hampir semua peralatan masak menggunakan listrik, dan karena tidak pernah mati lampu serta bukan keluarga perokok, maka tidak punya persediaan korek api atau tidak siap lilin, mau belanja pun saat itu tidak mungkin karena sudah tidak ada lagi supermarket buka.
Sangat berbeda tentunya dengan saat mengalami mati lampu di Bandung, karena sering mati lampu jadi bisa dikatakan lebih siap mental dan materil.
Indonesia dengan Mobil Listrik
Berbeda dengan DPR Norwegia yang sadar dan ambisius dengan target lingkungan di negaranya, target lingkungan DPR di Indonesia bagi rakyat seperti saya tidak transparen arahnya. Kadang terdengar gencar tapi seringnya tenggelam.
Saya cukup sedih dan kasihan bila membaca nasib mobil listrik di Indonesia, entah itu penelitiannya atau pun usaha untuk produksinya. Kesannya lebih jadi olok-olok daripada menilai usaha itu sebagai misi masa depan bangsa. Padahal bila kita mau membuka mata dan melihat masa depan bangsa. Indonesia dengan penduduk yang luarbiasa banyak, bahkan nomor empat di dunia, harusnya lebih khawatir dibandingkan negara lain, bagaimana kondisi lingkungan dan pemenuhan energi 250 juta jiwa penduduknya saat ini dan 50 tahun ke depan.
Kembali ke masalah emisi mobil listrik, tentu saja mobil listrik bila melihat di mobilnya saja an sich tidak mengeluarkan emisi, lah wong seperti nonton tivi kan tidak ada pembakaran. Tapi listrik memang dibakarnya di tempat lain. Di Indonesia, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan listrik lebih dari 50% sumber berasal dari batu bara.
Nah ini ... yang dipermasalahkan banyak orang, emisi mobil listrik itu tergantung listrik yang masuk ke dalam mobil berasal dari mana. Seperti saya singgung sedikit di atas, untuk Norwegia yang sumber listriknya hampir 98% dari PLTA, tentu saja sangat ramah lingkungan. Tapi listrik di Indonesia, ya sebetulnya akhrinya sama saja seperti membakar lebih dari 50% batu bara di mobil.
Menurut saya, bila melihatnya seperti itu tidak fair ya. Praktik uji emisi kan biasanya juga hanya di knalpot mobil, bila ini yang disepakati ya harusnya mobil listrik ya nul emisi. Namun, bila kesepakatannya melihat dari sumbernya juga, marilah kita lihat juga dari sumbernya untuk emisi mobil bakar juga.