Mohon tunggu...
Kristogonus Tadeus
Kristogonus Tadeus Mohon Tunggu... Guru - mencitai kebijkasanaan

kristo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Harta Berhargaku Warisan Bapak"

16 Maret 2021   06:18 Diperbarui: 16 Maret 2021   07:04 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


(kenangan ultah ke-70 almarhum ayahanda)

Jarum jam menunjukkan pukul 22.30. Sang rembulan perlahan bergerak menuju  peraduannya. Malam kian larut. warga di kampungku telah lelap dalam tidurnya. Mengambil energi tuk mengisi hidup esok harinya. Hanya suara jangkrik  terdengar bersahutan, bagaikan musik pengiring menemani sang malam. Sesekali suara tokek pun ikut ngoceh menikmati syahdunya malam.

"Tolooong, tolooong, toloong", tiba-tiba terdengan suara jeritan wanita. Khas suaranya, nampaknya berasal dari wanita paruh baya. Keheningan malam terpecah. Warga kampung berhamburan keluar mendekati sumber jeritan suara. Kuatnya ikatan keluarga di kampung membuat warga dengan mudah mengenal pemilik suara. Suara mama Elisabet istrinya bapak Simon. Entah kali ke berapa ini terjadi percekcokan antara mama Elisabet dan bapak Simon. Warga kampung hanya menyaksikan dari luar rumah. "Kalau mau berantem suami istri jangan malam-malam, mengganggu tidur saja. Tidak tahu kalian sudah jam berapa sekarang" kata bapa Timotius dengan rasa kesal. "ribut dalam rumah tangga itu biasa, tapi jangan sampai ada kekerasan, tampar menampar begitu", sela ibu Maria menimpali.

Beragam aksi warga kampung menyikapi masalah keluarga bapak Simon. Ada sekedar melihat lalu pulang, ada juga umpatan-umpatan yang terucap. Tapi tak ada yang menengahi atau melerai. Kerumunan warga kampung tidak mampu meredakan bara konflik antara bapak Simon dan mama Elisabeth. Pertengkaran dan kekerasan fisik masih terdengar jelas. Masalah kian runyam karena terbentuk kubu di antara keluarga dua belah pihak. Ada yang membela bapak Simon dan menyalahkan mama Elisabet. Begitupula sebaliknya. Warga kampung  memilih tidak mencampuri terlalu jauh. Biarlah para tokoh-tokoh adat kampung yang menyelesaikannya. Begitulah kebiasaan dan tradisi  dalam menyikapi konflik di kampungku.

Kami sekeluarga tidak ada yang ikut menyaksikan langsung persoalan yang sedang menimpa keluarga bapak Simon. Pada hal rumah kami dengan rumah bapak Simon hanya 50 meter jaraknya. Saat kejadian itu kami sekeluarga ikut terbangun. Namun bapak dengan segera melarang mama dan kami anak-anaknya untuk tidak keluar rumah menyaksikannya. Bukan kali ini saja, jika ada keributan-keributan yang melibatkan orang dewasa, bapak selalu melarang kami untuk menyaksikannya. Bapak selalu beralasan, itu masalah orang dewasa anak-anak tidak boleh terlibat. Tidak pantas anak-anak menyaksikan kejadian seperti itu sebab bisa merusak mental dan perilaku kami anak-anaknya. Begitulah kata-kata yang sering diucap bapak bila ada kejadian serupa.

Bapak tidak hanya melarang kami anak-anaknya. Bapak juga menunjukkan sikapnya yang demikian. Malam itu bapak memilih menyeruput kopi sambil mendengarkan siaran berita radio. Radio adalah teman kesayangan bapak. Kemana-mana radio selalu dibawa. Bangun pagi, akvitas pertamanya mendengarkan siaran berita radio dari BBC London. Belum ada sarana TV apalagi internetan. Bapak bukan tipe orang yang tidak peduli dengan keadaan sosial sekitarnya. Tapi dia mengungkapakan kepedulian dengan cara yang berbeda. Bapak memilih mengambil jarak jika situasi dan kondisi lagi "panas".

 Bagi bapak, melibatkan diri dalam kondisi seperti itu akan semakin memperkeruh suasana. Bapak adalah tipikal yang tidak suka mencari popularitas. Bapak tidak ingin kepedulian dan kebaikannya menjadi sebuah tontonan. Bapak juga selalu berhati-hati melibatkan diri dengan persoalan orang lain, jangan sampai menjadi bumberang bagi diri dan keluarganya. "keluargamu saja tidak beres keluarga orang kau atur", ungkapan ini yang selalu bapak jaga.

"Pak guru, pak guru", terdengar suara bapak Yakobus memanggil bapak. Warga kampung memanggil bapak dengan sebutan pak guru, sesuai dengan pekerjaannya seorang guru SD. "Ada apa pak Yakobus" balas bapa sambil mematikan radionya. "Makin panas di sana pak guru. Sudah ada kubu-kubu pak guru. Ada yang membela bapak Simon, ada yang membela mama Elisabet. Kasihan anak-anaknya pak guru, menjerit ketakutan mereka", kata bapak Yakobus lagi. "oke pak Yakobus saya akan segera ke sana" jawab bapak sambil bergegas menggantikan pakaiannya. Dengan menggunakan sarung adat bapak berpamitan kepada mama, "mama bapak pergi sebentar". "Jangan terlalu larut pulangnya, besok bapak harus kerja. Bawa saja kuncinya pa", jawab mama seraya menunggu bapak pergi.

Setelah mama kembali ke kamar tidur, aku mencoba mengintip suasana di luar sana. Kusendengkan telingaku melalui sela-sela jendela, mencoba menangkap percakapan warga yang masih berada di tempat kejadian. Riuhnya suasana dan jarak yang agak jauh, aku tak dapat menangkap dengan jelas cerita yang sedang berkembang di sana. Dengan kesal aku akhirnya melanjutkan tidurku.

Cuaca amat terik, hawa panas memenuhi ruang-ruang rumah kami. Aku memilih bernaung di bawah pohon mangga depan rumah. Kusandarkan tubuhku di kursi santai dari bambu hasil kreasi bapak. Baju kutanggalkan dari tubuhku. Semilir angin laut perlahan menyapu hawa panas tubuhku. Kubalikkan tubuh dan pandanganku ke arah selatan. Bentangan laut biru Flores begitu menawan di ujung pandanganku. Menggoda pikiran dan hayalanku. Antara rasa penasaran dengan kejadian yang menimpa keluarga bapak Simon beberapa waktu lalu dengan kegelisahan hati untuk meneruskan pendidikan selepas pengumuman kelulusan SMA yang tinggal 2 minggu lagi.

Kemana dan fakultas apa yang harus kupilih meneruskan cita-cita bergulat dalam pikiranku. Ke sana kemari lamunanku, tidak fokus pada satu masalah.
"Ema, rindang juga pohon mangga kita ini ya" sapa ayah sembari mencari tempat duduk(ema adalah panggilan sayang untuk anak lelaki Flores suku Nagekeo).Di atas sebongkah batu bapak duduk berselonjor di seberangku. "mungkin kita perlu membuat bale-bale di sini, supaya bisa kita gunakan untuk membaringkan tubuh. Saat-saat hawa panas seperti ini, kita bisa beristirahat di sini kan" kata bapak membuka percakapan kami.
"Betul juga bapak. Kita punya banyak bambu. Mudah dan sederhana kerjanya" balasku. Kupandang wajah bapak. Guratannya seperti tengah memikirkan sesuatu masalah.Dia tidak hanya sekedar mau menikmati kerindangan pohon mangga. Dia ingin mengungkap isi hatinya padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun