Mohon tunggu...
Kristo
Kristo Mohon Tunggu... -

A Journalist, Performance Management Consultant, Mind Diver, Universalist & A Less Travelled Road Taker...

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kenapa Ma'ruf Amin, Pragmatisme Elit, dan Naifnya Kita

16 Agustus 2018   12:00 Diperbarui: 16 Agustus 2018   12:16 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Nyonya Meneer berdiri sejak 1919 dan baru ambruk belakangan. Jadi berhentilah kita meributkan hal yang tidak relevan, seperti usianya Kyai Ma'ruf Amin (MA). Kita sedang pilih pemimpin bangsa, bukan kuda pejantan.

Pun bicara pejantan, bukan usia orang yang mesti kita perhatikan. Melainkan seberapa lama dia bisa bertahan. Usia jelas bukan patokan. Kamu boleh saja tua atau muda, tapi kalo engga pernah kemana-mana dan engga pernah ketemu siapa-siapa, ya sama saja.

Orang mengatakan MA adalah pilihan yang terbaik di tengah panasnya isu agama. MA adalah pilihan terbaik demi persatuan dan kesatuan itu juga yang mereka katakan. Saya bilang itu hanya kemasan, hanya rekaan.

MA dipilih utamanya karena dia bukan ancaman. Bagi siapa? Siapa lagi kalau bukan para elit politik. Kita jangan pernah lupa, pragmatisme adalah ideologi para elit politik di Indonesia. Mereka berhitung tidak saja untuk 2019, melainkan juga untuk 2024.

Tidak seperti Prof. Mahfud MD (MMD), elit menganggap kecil kemungkinan MA akan kembali maju di 2024.  Dengan demikian, jalan masih terbuka lebih lebar untuk para elit politik maju di Pilpres 2024, minimal sebagai Wakil Presiden.  

Lain halnya dengan MMD, ditinjau dari segala aspek, dengan segala kelebihan dan kompetensinya, peluangnya sangat besar untuk maju lagi. Sayangnya cuma satu, dia bukan perwakilan partai, bukan pula perwakilan ormas besar di Indonesia. Jadi ngapain elit politik ngasih jalan? Lebih baik MA saja; NU, diterima semua partai dan sudah masuk usia senja.

Tentu saja mereka engga bisa ungkapin alasan sesungguhnya itu. Maka Jokowi-pun beralasan: MA bijaksana, kenyang pengalaman di lembaga politik maupun ormas. Dan tak kalah pentingnya adalah figur yang saling melengkapi: nasionalis - religius (baca: Ulama). Cakep.

Dan kitapun menerima bulat-bulat. Ada yang suka, banyak juga yang tidak suka. Mereka yang suka, tidak saja menerima tapi juga membelanya, seakan-akan pasangan itu adalah ide mereka sendiri.

"Ini demi kepentingan bangsa!", seru mereka. "Demi persatuan kesatuan bangsa!", teriaknya lagi. Iya, memang demi kepentingan dan persatuan kesatuan bangsa, tapi bangsa elit-elit politik pragmatis. Kitanya saja yang mau menerima pragmatisme berbungkus nasionalisme atau apapun lainnya yang berkesan ideal.

Sementara mereka yang tidak suka, sayangnya, banyak yang lebih karena mengaitkan MA dengan Kasus Ahok.  Maka jawaban atas ketidaksukaan mereka menjadi sangat mudah: Ahok dan MA sudah saling memaafkan, MA sudah menjadi pendukung Jokowi, Ahok mendukung Jokowi 2 periode, kalau kamu ngotot nolak, kamu itu Ahoker sejati bukan sih? Abal-abal ya? Plastic fans?

Baik yang suka maupun yang tidak suka, sama-sama mengabaikan ada hal yang jauh lebih fundamental. Dan mereka akhirnya ribut sendiri karena hal-hal yang bersifat kemasan dan atau dangkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun