Mohon tunggu...
Kristina Damayanti
Kristina Damayanti Mohon Tunggu... Freelancer - An ordinary student

Mendengar, mendengar, menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Sang Penjual Koran yang Ditinggalkan Zaman

2 Juni 2020   19:42 Diperbarui: 2 Juni 2020   20:21 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Matahari sedang bersinar terik, ramainya kendaran yang berlalu lalang menambah pengap udara saat saya mampir di lapak koran pinggir Jalan H. Juanda, Ciputat, Tangerang Selatan siang itu. Bapak penjual koran terlihat terkantuk-kantuk menunggui dagangannya sambil sesekali mengipasi dirinya dengan kertas sobekan kardus. Ketika saya sudah berdiri dan memilih koran untuk dibeli pun beliau masih tetap memejamkan mata, hingga akhirnya saya membangunkannya dan bertanya berapa harga satu koran miliknya. Beliau menjawab bahwa harganya sesuai dengan yang sudah tertera pada halaman depan di pojok kanan atas. Empat ribu lima ratus rupiah, namun saya tak lantas langsung membayarnya, sekedar bercengkerama dengan orang lain adalah obat di tengah sibuknya rutinitas sehari-hari. "Sudah lama pak jualan disini?" tanya saya. "Iya lama neng, dari jalanan disini belum rame banget kayak sekarang" jawabnya. Pertanyaan sederhana tersebut akhirnya membawa kami pada obrolan yang cukup panjang, yang akhirnya membuat saya sadar bahwa dampak dari perkembangan kemajuan teknologi dan informasi saat ini adalah nyata. Bapak penjual yang kemudian saya ketahui bernama Wakiman itu, juga banyak menuturkan kisah pribadinya tentang bagaimana koran telah membersamai hidupnya selama berpuluh-puluh tahun. 

 Dulu, saat internet belum begitu dominan dipakai oleh masyarakat Indonesia, akses informasi masih bergantung pada media arus utama, media cetak tergolong salah satu yang mahsyur menyediakan berita. Kini, seiring pesatnya kemajuan teknologi, penyebaran informasi sangat mudah diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Banyak media daring bermunculan sebagai alternatif penyedia berita. Hal ini ternyata punya pengaruh besar terhadap nasib media cetak di Indonesia, banyak perusahaan yang akhirnya berhenti menerbitkan bentuk fisik berita atau koran, kemudian beralih ke media daring guna mempertahankan usahanya, namun beberapa perusahaan ada yang akhirnya terpaksa gulung tikar. Pola masyarakat yang lebih memilih mengakses berita melalui smartphone juga berimbas pada penghasilan para agen surat kabar hingga penjual koran eceran.

Wakiman adalah salah satu penjual koran eceran yang dulu sangat terbantu secara ekonomi, pria baruh baya asal Surakarta, Jawa Tengah itu mengaku dapat menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi hanya dengan menggantungkan penghasilannnya dari satu jenis pekerjaan saja. Sebelum berjualan di lapak, Wakiman dulu menjajakan koran-korannya dengan sepedanya, selain itu, beliau juga mengantarkan koran-koran kepada para pelanggan tetapnya setiap pagi, hingga kini pun beliau masih menjalankan rutinitas tersebut meskipun jumlah pelanggannya sudah berkurang cukup drastis, "Dulu saya ngambil banyak koran juga sehari pasti habis, sekarang saya ngambil segini saja (menunjuk jumlah daganganya saat itu) jarang habis, jaman sekarang orang-orang lebih seneng baca di hape neng, mahasiswa juga beli koran cuma buat tugas klipping aja" tuturnya dengan nada getir.

Dari sana, saya bertanya mengapa beliau tidak mencoba jenis pekerjaan lain saja, Wakiman kemudian menjawab bahwa sebenarnya ia ingin mencobanya, namun beliau mengaku tidak mempunyai skill yang cukup untuk menjajal pekerjaan lain. Beliau juga sempat berpikir untuk membuka usaha kecil, tapi lagi-lagi keterbatasan modal lah yang kemudian menyurutkan niatnya. Lebih lanjut, Wakiman menuturkan bahwa kini ia sudah berstatus sebagai single parent semenjak berpisah dengan istrinya beberapa tahun lalu dan harus menanggung biaya sekolah anak bungsunya, hal tersebut membuatnya sedikit khawatir akan masa depan anaknya, mengingat penghasilannya kini tidak menentu. "Anak saya sekolah di swasta, biayanya besar, nggak tahu dia habis lulus SMA bisa lanjut lagi atau nggak" imbuhnya. Meski dilanda kekhawatiran, Wakiman tetap bersyukur dengan kondisinya saat ini, katanya "Ya penghasilan seberapa pun harus tetep disyukuri, makan seadanya yang penting anak saya bisa sekolah sampai lulus." 

Perkacapan dengan Pak Wakiman telah menyadarkan saya bahwa kecanggihan teknologi menuntut kita untuk mampu beradaptasi. Membekali diri dengan satu jenis skill saja dirasa kurang cukup. Perlu adanya kesadaran untuk mengasah skill lain agar kita mampu bertahan di tengah tuntutan kemajuan zaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun