Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Iman dan Kesederhanaan

8 Juli 2021   21:00 Diperbarui: 8 Juli 2021   21:04 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesederhanaan. Foto: pesantren.id.

Yesus memusatkan perhatian-Nya pada pewartaan Kerajaan Allah. "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil" (Mrk 1: 15). Bukti kesederhanaan Kristus itu jelas terlihat ketika menjawab kritikan orang Farisi, "Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" (Mrk 2: 17), (Luk 19:1-10) dan (Luk 15: 2).

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah empunya Kerajaan Surga" (Mat 5:3). Bentuk kemiskinan seperti apa yang hendak kita pahami dari kutipan teks ini? Tentu saja, frasa "miskin di hadapan Allah" bukan semata menekankan soal kemiskinan eksternal yakni tidak mempunyai barang atau material tertentu atau tidak mampu, melainkan khusus menekankan soal kemiskinan internal yakni pengakuan akan keterbatasan, kekecilan, dan ketidakberdayaan manusia di hadapan Allah yang tak terbatas.  

Dalam pemahaman akan makna istilah kemiskinan seperti  di atas, telah menjadi jelas bahwa penghayatan akan kesederhanaan dalam kemiskinan Yesus itu bukan semata tentang hal-hal yang lahiriah atau yang eksternal tadi, melainkan yang diharapkan bagi pengikut Kristus zaman ini adalah penghayatan tentang hal-hal yang batiniah atas hal-hal yang lahiriah atau eksternal tadi.

  Kesederhanaan Kristus dalam Penderitaan-Nya

Gambaran tentang kesederhanaan Kristus terdapat pula dalam kisah penderitaan atau kesengsaraan-Nya. Gelar Yesus sebagai raja digunakan sebagai kata kunci untuk memahami penampilan Yesus dalam penderitaan-Nya. Digambarkan sebagai raja yang sederhana yang dengan sederhananya menjawab pertanyaan dari dari Pilatus: Akulah Dia (Yoh 18:5). Yesus bahkan tidak berdebat panjang lebar dengan Pilatus. Ia tahu bahwa inilah saanya Ia akan mengalami penderitaan. 

Yang jelas adalah bahwa tanggung jawab penyaliban sepenuhnya terletak di tangan orang-orang Yahudi. Ungkapan 'kami tidak mempunyai raja selain Kaisar" menggarisbawahi tragedi yang dialami orang Yahudi. Dengan menolak Allah yang meraja dalam Diri Yesus dan memilih Kaisar Roma, sebenarnya orang Yahudi juga menolak harapan akan kedatangan Mesias sebagai raja yang diutus Allah (bdk. Yes 26:13).

Dalam adegan terakhir yang mengumpulkan berbagai kisah di sekitar salib, penginjil masih merenungkan penderitaan Yesus sebagai Raja orang Yahudi. Title salib yang lengkap terpancang di salib: Yesus orang Nazaret, raja orang Yahudi. Ia adalah seorang benar dan sederhana yang pakaian-Nya menjadi tanda kenangan; hidup-Nya dikenang sebagai persatuan; kematianNya memberikan Roh yang hidup; darah dan air yang mengucur dari lambungNya adalah pemberi kehidupan dan kesuburan. 

Dalam suratnya yang pertama kepada umat di Korintus, Paulus juga mengarahkan perhatiannya kepada Yesus yang tersalib. Dengan sengaja ia mengetengahkan bahwa Yesus yang disalibkan itu bagi orang Yahudi merupakan batu sandungan dan bagi orang Yunani merupakan kebodohan (1Kor 1; 23; Gal 5:11). Paulus secara fanatik menyatakan hanya bisa membanggakan Yesus yang disalib itu (Gal 6:14), tentu bukan hanya karena salib, tetapi karena perspektif kebangkitan menjadikan salib itu kebanggaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun