Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penderitaan, Pathos, dan Jeruji Jiwa

20 Juni 2021   21:49 Diperbarui: 20 Juni 2021   22:11 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahkota duri dalam kisah sengsara Yesus. Foto: satuharapan.com.

Ada begitu banyak teori yang secara khusus mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan penderitaan. Dalam kamus Yunani Klasik, kita mengenal istilah pathos -- berasal dari kata kerja paschein atau menderita (to suffer). Kata pathos bisa dipahami sebagai sesuatu yang menggerogoti seseorang -- semacam penyakit (an illness) -- di satu sisi dan di sisi lain pathos bisa berkaitan dengan perasaan (a feeling), disposisi batin (an inner disposition) entah baik maupun buruk, berkaitan dengan kecenderungan (an appetite), nafsu atau gairah (a passion).

Bagi kaum Platonis, penderitaan pada dasarnya selalu dikaitkan dengan tripartisi dalam jiwa, yakni  fungsi rasional jiwa (logistikon), kecenderungan untuk marah (thymos) dan kekuatan untuk cenderung jatuh pada nafsu-nafsu (epthymia). Sedangkan kaum Stoa melihat empat ciri penyakit jiwa, yakni kenikmatan (hdon), rasa sakit (lype), hasrat/keinginan (epithymia) dan ketakutan (fear).

Kehadiran simptom-simptom jiwa yang mengalami disorder ini biasanya menciptakan dimensi ups-down dalam pikiran seseorang -- orang bisa menjadi sangat tegang untuk menentukan suatu pilihan. Maka, dalam khazanah filsafat, penderitaan dianggap sebagai sesuatu yang negatif -- merusak jiwa atau terali jiwa.

Lalu, bagaimana para Bapa-Bapa Gereja melihat penderitaan? Bagi mereka, penderitaan par se, bisa baik maupun buruk. Ignasius dari Antiokhia, mendefinisikan kata pathos sebagai sesuatu yang dikaitkan dengan penderitaan Kristus. Sedangkan Clemens dari Alexandria memilah empat model penderitaan, yakni kenikmatan dan nafsu serta kesedihan dan rasa takut.

Pada intinya, para Bapa Gereja tetap melihat penderitaan sebagai penyakit yang merong-rong jiwa (diseases of the soul). Hal ini berarti bahwa ketika seseorang menderita, jiwanya mengalami disorder. Selain memahami penderitaan sebagai penyakit yang merusak jiwa, penderitaan sejatinya juga dipahami sebagai keadaan di mana seseorang dikuasai roh jahat.

Teofhanus bahkan mendefinisikan penderitaan sebagai rasa cinta terhadap tindakan-tindakan yang jahat. "The disposition to sin or the propensity to sin or passion is the strong and contant desire to sin in a certain way; it is a love for guilty actions." Gregorius dari Nissa melihat penderitaan (path) sebagai ketidakmampuan pikiran dalam mengontrol sesuatu yang jahat. Sedangkan Maximus Confessor melihat akar dari penderitaan adalah cinta diri (self-love).

Gambaran penderitaan sebagai sesuatu yang "negatif", pada perkembangan berikutnya justru dimurnikan melalui penderitaan Kristus. Dalam peristiwa inkarnasi -- Sabda menjadi manusia -- Allah turun menghampiri manusia. Turun ke dunia tentunya membawa serta konsekuensi, yakni menderita (path) -- Allah berani berkotor tangan, Allah berani melumpur, Allah ke-luar dari kediaman-Nya dan turun menghampiri manusia.

Melalui peristiwa inkarnasi, kehadiran Allah yang tidak kelihatan (invisible) dalam sejarah keselamatan lalu menjadi nyata dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus. Maka, melalui penderitaan Kristus di salib, tertanam di dalamnya sebuah tuntutan untuk taat. Penderitaan, dengan demikian, selalu dihubungkan dengan ketaatan pada Kristus atau ikut ambil bagian dalam penderitaan Kristus (pathos).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun