Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Retorika Kemiskinan dan Orang Miskin

21 Mei 2021   19:39 Diperbarui: 21 Mei 2021   19:51 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemiskinan. Foto: harianbisnis.co.id.

Tokoh-tokoh agama, para pemimpin politik, LSM, ahli hukum, ahli hermeneutik, dan macam-macam pakar, getol berbicara mengenai kemiskinan. Karena menjadi topik yang pilu didengar, menyentuh sanubari, sayu tuk ditatap, lembut tuk dirasa, dan bernilai ketika dipasarkan, maka banyak orang berlomba-lomba berbicara tentangnya: baik tentang kemiskinan dan lebih-lebih manusianya yang hidup dalam kemiskinan.

Tema kemiskinan selalu ditempatkan di top list dalam debat-debat internasional, masuk bursa debat pemilu, menjadi kata kunci dalam ceramah dan sarasehan, menjadi bahan baku dunia bisnis dan periklanan, objek riset dan studi, dipakai sebagai senjata untuk mencairkan bantun, topik ceramah para pemuka agama dan kadang menjadi instrumen untuk menakut-nakuti.

Salah satu contoh dimana kemiskinan dan orang miskin menjadi instrumen teror adalah pernyataan demikian "Orang miskin, pasti cepat masuk surga!" Pernyataan ini adalah obat penenang yang sengaja dipergunakan untuk menyembuhkan kondisi bawah sadar seseorang. Alhasil, pernyataan ini kadang membuat orang takut untuk berusaha. "Cukup menjadi orang miskin, yang penting masuk surga. Pertahankan kemiskinan!"

Rupa-rupanya kemiskinan adalah sebuah situasi yang bisa dipotret dari sudut pandang manapun. Dari sudut-sudut pemotretan, kemiskinan tetap memberi warna untuk dinikmati kelima indera. Karena kemiskinan adalah sebuah realitas, maka ia mau tidak mau berpapasan dengan kita. Di balik kata kemiskinan, sejatinya ada sekelompok manusia yang hidup dalam kemelaratan, tidak menentu, tergopoh-gopoh, dan menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan.

Sekelompok manusia ini kemudian diberi nama orang miskin. Siapa yang memberi nama? Kenapa mereka diberi nama seperti itu dan bagaimana melepaskan nametag "orang miskin" dari kehidupan mereka adalah bagian dari pertanyaan-pertanyaan usil. Karena toh ketika pertanyaan ini dilontarkan, tepatnya untuk siapa?

Untuk sekelompok manusia yang disebut orang miskin ataukah untuk kita sebagai pengagas sekaligus penerjemah kata kemiskinan dan orang miskin itu sendiri? Perasaan terharu, sedih, menyesal, takut, iba, hanyalah halaman depan dari sebuah bentuk keprihatinan. Akan tetapi, jembatan untuk menyeberangkan orang miskin ke tempat yang layak selalu roboh dimamah tren, pengaruh, uang, ancaman, takut, kekuasaan, jabatan, dll.

Kemiskinan sejatinya sudah diinstitusikan. Proses penginstitusian ini dilakukan melalui definisi. Ketika ditanya mengenai apa itu kemiskinan, orang selalu cepat mengacungkan tangan dan mulai beretorika. Kita semua telah mengetahui definisi kemiskinan dan siapa-siapa yang tergolong orang miskin. Akan tetapi, pertanyaannya adalah "Apa yang sejatinya kita lakukan ketika berhadapan langsung dengan orang miskin?"

Fasilitas apa yang mau kita sodorkan agar orang miskin keluar dari cadar kemiskinan? Mungkin kita kurang serius berbicara tentang kemiskinan. Sejatinya, tidak. Kita sudah terlalu serius berbicara tentang mereka -- orang miskin. Orang-orang miskin terkadang mirip dewa yang malang, dimana suara mereka perlu disimak, akan tetapi seringkali dunia mendengarnya melalui perantara. Umumnya perantara merasa punya kewajiban mewakili orang miskin dan tak jarang merasa punya hak untuk itu.

Pejabat publik, anggota parlemen, tukang tweet, para facebooker, aktivis, LSM, kiyai, pendeta, juga stasiun televisi dengan komentatornya yang mengumumkan, "Saya dulu pernah melarat!" adalah orang-orang yang merasa memiliki hak untuk mewakili suara orang miskin. Lalu pertanyaannya, "Benarkah orang-orang yang saya sebutkan -- atau mungkin kita yang ada di ruangan maya ini -- memiliki hak atau berhak untuk berbicara tentang mereka?

Untuk apa kita berbicara mengenai orang miskin? Banyak orang berbicara tentang orang miskin hanya untuk menelusuri definisi yang baku tentang kata itu. Banyak orang berbicara mengenai orang miskin untuk kebutuhan ekonomis. Alhasil, orang miskin dijadikan lahan penghasilan beromzet besar. Banyak orang berbicara tentang orang miskin hanya untuk menemukan akar dari suatu masalah.

Ketika akar masalahnya ditemukan, si penemu berusaha menyembunyikannya untuk dimasukkan ke dalam ruang kompetisi pemasaran ide demi uang. Banyak orang berbicara tentang orang miskin hanya untuk kebutuhan akademis belaka atau tujuan riset. Banyak orang berbicara tentang orang miskin hanya sebagai exercise penelitian -- menarik untuk dipublikasikan. Banyak orang berbicara tentang orang miskin hanya untuk menciptakan kegaduhan -- lahan provokasi. Banyak orang berbicara tentang kemiskinan demi uang -- dari penjelasan mengenai orang miskin, orang diacungkan jempol dan diberi insentif berupa duit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun