Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengolah Komunikasi Presiden Jokowi di Media Sosial

18 Mei 2021   21:40 Diperbarui: 18 Mei 2021   21:53 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo saat berpidato. Foto: medan.tribunnews.com.

 

Saya menyimak beberapa kali cuplikan video pidato Pak Presiden Joko Widodo. Video tersebut, sejatinya berisi ajakan Presiden Jokowi kepada seluruh warga negara Republik Indonesia agar mencintai dan mengkonsumsi produk Indonesia. Pesan ekstra Pak Presiden terlihat ketika ia berusaha menjajakan beragam jenis kuliner Nusantara secara verbal. Dalam video tersebut, Pak Presiden mengingatkan kepada seluruh penghuni NKRI agar tetap mengkonsumsi produk dalam negeri baik pakaian maupun jenis kuliner Nusantara dengan memesannya secara online.

Akan tetapi, mispersepsi justru mendadak viral. Promosi kuliner secara online tiba-tiba viral diperbincang warganet. Beberapa warganet justru mengerumuni kata Bipang Ambawang. Ada apa dengan Bipang Ambawang? Dari frasa "Bipang Ambawang" muncul beragam komentar. Ada yang menyayangkan isi pidato dan ada pula yang merasa fine-fine saja dengan isi pidato.

Cuplikan pidatonya kurang lebih demikian: "Bapak, ibu, dan saudara-saudara sekalian, sebentar lagi Lebaran. Namun, karena masih dalam suasana pandemi, pemerintah melarang mudik untuk keselamatan kita bersama. Untuk Bapak, Ibu, dan saudara-saudara sekalian yang rindu kuliner khas daerah atau yang biasanya mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online."

Jokowi kemudian melanjutkan: "Yang rindu makan Gudeg Jogja, Lumpia Semarang, Siomai Bandung, Empek-empek Palembang, Bipang Ambawang dari Kalimantan, dan lain-lain, tinggal pesan dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah. Atau kalau kita ingin mengirimkan oleh-oleh atau hadiah bagi keluarga yang jauh, pakaian, cendera mata, dan berbagai jenis barang lainnya, tinggal pesan dan kirim secara online sehingga dapat diterima oleh keluarga atau sahabat kita di mana pun mereka berada."

Dari isi pidato Pak Presiden, netizen kemudian mulai berkerumun di kata Bipang Ambawang (Babi Panggang) -- jenis kuliner asal Kalimantan. Menurut netizen, Bipang Ambawang merupakan jenis makanan haram bagi umat Muslim. Bipang Ambawang jelas-jelas merupakan jenis kuliner yang diolah dari jenis binatang yang diklaim haram oleh umat Islam. Karena haram, warganet menggerutu dan kesal. Kenapa Pak Presiden merekomendasikan Bipang Ambawang saat Lebaran? Kira-kira begitu akar persoalannya.

Pidato Pak Jokowi jika ditelusuri secara keseluruhan tentunya dimulai dengan pernyataan promosi autfit yang dikenakannya. Dari jaket hingga sepatu, Pak Jokowi memublikasikan produk-produk dalam negeri. Jokowi merekomendasikan kepada semua penghuni jagat Nusantara ini agar membeli dan menggunakan produk-produk yang diproduksi anak bangsa. Dari prolog pidato ini, kita bisa memahami arah pembicaran Pak Presiden, yakni berusaha mempromosikan produk-produk bangsa Indonesia.

Dari sana, Pak Jokowi bergerak ke jenis produk lainnya, yakni jenis makanan. Kebetulan momen penyampaian ini bertepatan dengan alur menuju Lebaran, maka Jokowi ikut merekomendasikan jenis kuliner Nusantara yang tak kalah kualitasnya. Dalam penyampaiannya Jokowi hanya menyebut sebagian dari jenis kuliner yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, ia hanya menyebut Gudeg, Lumpia, Siomai, Empek-empek, dan Bipang Ambawang. Maka, dalam konteks ini pun Jokowi tetap memperlihatkan inti pembicaraannya, yakni mempromosikan produk-produk Indonesia.

Lalu, kenapa warganet justru serius mempersoalkan Bipang Ambawang? Apakah karena Bipang Ambawang diletakkan pada konteks yang tidak tepat? Hemat saya tidak. Kembali ke poin inti pidato. Presiden Jokowi sejatinya mau menegaskan pesan terkait rekomendasi produk-produk Indonesia. Saya mengandaikan model pidato Pak Jokowi dengan sebuah pesta. Katakanlah, Pak Jokowi adalah tuan pesta yang tengah menghidangkan beragam jenis menu di meja makan. Di sana ada beragam jenis makanan. Ada siomai, lumpia, ampek-empek, gudeg, dan bipang ambawang. Tugas tamu undangan adalah memilih, kira-kira mana yang cocok untuknya dan mana yang tidak. Jika ada yang tidak cocok, hal itu menjadi pertimbangan pribadi: mau mencicipi atau tidak, mau mencoba atau tidak? Tuan pesta dalam hal ini tidak menjadi persoalan. Semua jenis menu disediakan, diberi nama, dan direkomendasi. Jika masih ragu dengan hidangannya, silahkan ditanyakan langsung kepada tuan pesta.

Di sini, perlu yang namanya fact-checking. Fact-checking dalam hal ini hadir dalam kemauan untuk bertanya. Usaha menanyakan kejelasan jenis menu yang disediakan tuan pesta adalah bentuk ketegasan si tamu undangan. Pertanyaan dalam hal ini juga berarti memperoleh kejelasan maksud dan jenis menu yang dihidangkan si tuan pesta. Dengan upaya menarik penjelasan demikian, maka mispersepsi dan asumsi-asumsi tak terkontrol bisa dimatangkan. Dengan demikian, kegaduhan pun bisa diredam sebelum fakta sebenarnya diketahui secar jelas.

Hemat saya, problem justru terjadi ketika menu yang disajikan dipermainkan di wilayah persepsi atau opini publik. Asumsi-asumsi yang kurang matang sengaja diperlebar dan dibuat riuh. Mereka yang melakukan hal ini -- dalam konteks polemik pidato Pak Presiden -- adalah warganet. Komposisi fokus perhatian netizen justru hanya tertuju pada satu menu, yakni menu yang diklaim haram atau bukan untuk saya. Padahal, tuan pesta menyajikan banyak menu yang diperuntukkan bagi semua tamu undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun