Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dari Partai Politik Kita Bisa Belajar Loyalitas, Lalu Apa Lagi?

16 Maret 2021   21:09 Diperbarui: 17 Maret 2021   19:56 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Bendera partai politik dan atribut calon legislatif masih bertebaran di masa tenang, seperti di Kawasan Matraman, Jakarta, Minggu (6/4/2014). (Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Partai politik memang menggiurkan. Bagi banyak orang, masuk dalam daftar keanggotaan partai politik adalah sebuah peluang -- ya peluang buat rebut kekuasaan. 

Umumnya, agar mencapi tampuk kekuasaan, disarankan 'tuk masuk koalisi partai politik. Di sana, setiap pribadi dan gagasannya dikelola, diaduk-aduk, dan diberi bumbu.

Setiap partai politik biasanya memiliki rubrik tersendiri. Pada rubrik itu, biasanya dibedah berbagai macam tata kelola partai -- mulai dari visi-misi partai, keanggotaan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta kaderisasi anggota partai. 

Berbagai elemen ini, biasanya dievaluasi tiap tahun. Dan selama rentang waktu setahun, selalu ada transformasi yang disepakati bersama melalui sebuah musyawarah atau kongres.

Untuk melakukan sebuah kongres atau musyawarah, setidaknya semua wakil dari keanggotaan partai dilibatkan. Prinsip ini lazim dibuat mengingat semua anggota partai memiliki wewenang dalam menentukan sebuah kebijakan tertentu terkait partai. 

Jika ada yang berseberangan dalam mengutarakan opini atau gagasan, umumnya, semua polemik ini diselesaikan secara internal. Inilah kode etik "rumah tangga" partai -- mengevaluasi, merangkul, dan mengambil kebijakan secara komunal.

Akhir-akhir ini, problem terkait ruang gerak atmosfer kepartaian sempat menggelegar. Dan, rupanya masih terus bergulir. Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) digedor dari dalam. 

Berawal dari kecurigaan terkait silaturahmi anggota partai, kisruh internal Partai Demokrat semakin melebar. Awalnya, isu mengenai kudeta hanya sebatas kecurigaan. Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia disebut sebagai sosok yang akan mengendalikan Partai Demokrat di kemudian hari. Itu isu saban hari.

Dari sekadar isu, hal itu tiba-tiba menjadi nyata. Kongres Luar Biasa (KLB) karena "kurang akurnya" anggota partai kemudian dipublikasikan. Dari Deli Serdang, Partai Demokrat rasa Moeldoko digadang. 

Publik dibuat tercengang. Kemarin sepertinya hanya isu. Hanya wacana belaka kalau Pak Moeldoko mau menggawangi Partai Demokrat. Kala itu, Pak Moeldoko memberi klarifikasi. Ia tak memberi pernyataan bahwa ia memang benar-benar mau menerima tawaran menahkodai Demokrat.

Tak ada yang pasti. Yang pasti bahwa sekarang Partai Demokrat tengah digedor paksa. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hilir mudik mencari pegangan. Goncangan internal partai sesungguhnya telah diramal dengan baik oleh AHY. Moeldoko pasti akan melakukan sesuatu. 

Pasti ada hal baru yang akan mengganggu ketenteraman rumah tangga Demokrat. Dan, memang benar. Kongres Luar Biasa (KLB) tak mampu dipasung. Akhirnya Moeldoko hadir sebagai Ketua Umum Demokrat rasa Serdang.  

Peristiwa ini sejatinya merupakan catatan suram dunia partai politik. Kisruh internal partai hingga mendeklarasikan "partai tandingan" sebagai bentuk protes menjadi tanda rapor merah dinamika halaman belakang partai politik. Pasang-surut situasi partai tak lagi dikehendaki setiap anggota. 

Jika terjadi demikian, bagaimana dengan aspek loyalitas keanggotaan partai? Bongar-muat ide atau gagasan tertentu dalam rumah tangga partai seharusnya dikelola dan ditata sebaik mungkin. 

Hal ini, tentunya bukan hanya tugas pokok ketua umum partai dan dewan partai, melainkan semua anggota yang memilih bergabung di dalamnya.

Polemik terbelahnya Demokrat menjadi dua kubu merupakan pelajaran berharga bagi partai politik yang lain. 

Saat ini, publik mungkin hanya menyaksikan rumah tangga Demokrat digedor dari dalam. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, partai-partai lain juga mengalami hal yang sama, tetapi belum terendus ke permukaan. 

Hemat saya, polemik internal yang dialami Partai Demokrat harus menjadi catatan dan pengalaman berharga bagi tata kelola partai politik yang lain. Bangun komunikasi yang baik!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun