Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dewi Keadilan dan Pertimbangan Hukum

8 Maret 2021   07:41 Diperbarui: 8 Maret 2021   07:54 1527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi keadilan Yunani Kuno sebagai representasi dari ide keadilan. Foto: idntimes.com.

Penelusuran mengenai apa itu keadilan adalah perkara yang terus dikaji dari zaman ke zaman. Sejak zaman Yunani kuno, keadilan dilukiskan sebagai sebuah keutamaan (arete) yang patut dikejar, sebuah keutamaan yang mendasari seluruh hubungan sosial dan politis. 

Orang-orang Romawi memiliki sebuah lambang untuk melukiskan keadilan yang diwariskan hingga kita sekarang, yakni ilustrasi dewi keadilan (iustitia). 

Di sana dikatakan bahwa dengan kedua matanya yang ditutupi sehelai kain, dewi ini memegang sebuah neraca di satu tangannya, sementara di tangan yang lain ia memegang sebilah pedang.

Gambaran ini menampilkan ide keadilan secara simbolis, dimana kedua matanya yang tertutup menunjukkan sikap tidak memihak terhadap partai-partai yang bertikai; neraca mengacu pada ide "setiap orang sesuai dengan haknya," yakni gagasan tentang kesetaraan; dan pedang itu menggambarkan tindakan memutuskan dilakukan berdasarkan otoritas tertentu (F.B Hardiman, 2006).

Ilustrasi iustitia atau dewi keadilan yang digambarkan oleh orang-orang Romawi menunjukkan bahwa konsep keadilan memuat berbagai pertimbangan di dalamnya. 

Pertanyaan mengenai "Apa tolok ukur untuk menilai sesuatu itu adil atau tidak?" adalah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Apakah adil itu berarti sesuai dengan hukum ataukah yang adil itu melampaui tatanan hukum?

Kaum legalis-positivis tetap melihat bahwa keadilan ada di dalam sebuah tatanan. Pertanyaannya adalah "Apakah keadilan hukum itu benar-benar adil?" 

Menurut A Setyo Wibowo, prinsip keadilan itu sendiri akan selalu menantang hukum-hukum tertulis (positif) untuk mempertanyakan diri mengenai apakah aturannya sudah sungguh-sungguh adil (A Setyo Wibowo, "Hidup Mati Demi Keadilan," dalam Basis, Nomor 05-06, Tahun ke-64, 2015, 11). 

Berbagai kasus penerapan hukum yang tidak adil justru telah memperlihatkan wajah kamuflase. Hukum justru dilihat sebagai alat untuk melanggengkan kekerasan yang pernah ada dalam sistem hukum alam (natural law). Padahal dalam sejarah penetapannya, hukum ada justru untuk membendung kekerasan.

Bagi Derrida, keadilan itu tidak dapat ditemukan dalam sebuah tatanan hukum (hukum positif) dan juga tidak hanya ditemukan dalam hukum ilahi. Para penganut hukum positif menilai bahwa keadilan hanya dapat dicapai melalui sarana yang sah, yakni penerapan aturan hukum. 

Aturan hukum berbicara seperti apa, keadilan justru diturunkan dari tatatanan tersebut. Institusionalisasi konsep keadilan sebagai yang sesuai dengan hukum secara tidak sadar menutup akses penemuan makna keadilan di luar tatanan itu. 

Derrida justru mengambil posisi di antara -- posisi dekonstruktif. Berhadapan dengan dua model hukum ini -- baik hukum ilahi maupun hukum positif -- Derrida mengatakan bahwa kita tidak bisa memutuskan. Keduanya selalu ada, dan di situ kita tidak dapat memutuskan yang satu dan meninggalkan yang lain.

Dalam hal teoritis -- bukan ranah praktis -- keadilan memang tidak dapat diputuskan. Akan tetapi, menurut Derrida, kita tetap harus mengambil sebuah keputusan karena keadilan tidak menungggu. Keputusan yang diambil menurut Derrida tidak melulu mengikuti kaidah hukum yang berlaku, tetapi melalui interpretasi hukum; tidak melulu mangambil keputusan terprogram, tetapi melihat setiap kasus sebagai sesuatu yang unik (putusan sebagai peristiwa).

Para pengkritik positivisme hukum, salah satunya Walter Benjamin, mengklaim bahwa di dalam hukum, kekerasan justru dipertahankan, dimana wajahnya dalam bentuk lain yang lebih halus. Walter Benjamin, seperti yang dikutip Jacques Derrida dalam bukunya Force of Law: The Mystical Foundation of Authority, melihat berbagai ketimpangan yang terjadi dalam sistem hukum positif. 

Pembahasan Benjamin dalam Zur Kritik der Gewalt berangkat dari sebuah oposisi biner induk, yakni antara hukum alam (natural law) dan hukum positif (positive law). Kedua jenis hukum ini, menurut Benjamin, masih memegang hubungan sarana-tujuan: "Tujuan-tujuan yang adil dapat dicapai melalui sarana yang sah, sarana yang sah dapat diarahkan pada tujuan-tujuan yang adil."

Hal ini berarti bahwa: pertama, keadilan hanya dapat dicapai melalui sebuah tatanan bernama hukum dan efeknya adalah segala upaya pencarian keadilan di luar tatanan (hukum) tidak dapat dibenarkan dan kedua, kekerasan yang dulu pernah dipraktikkan dalam sistem hukum alam (natural law) justru dipertahankan dalam hukum positif (positive law) bilamana hukum itu tidak diterapkan secara adil. Penetapan hukum secara tidak adil adalah bentuk kekerasan. Oleh karena itu, Derrida menolak ide keadilan yang hanya direduksi pada sebuah tatanan bernama hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun