Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demokrasi Urun Angan atau Turun Tangan

25 Februari 2021   13:01 Diperbarui: 25 Februari 2021   13:53 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama Demokrasi Indonesia Periode Reformasi. Foto: kompas.com.

Demokrasi itu harus sampai menyentuh akar rumput (grassroot). Jika kita mengkalim negara demokrasi, itu artinya kita dituntut untuk menikmati bersama. Sepenanggungan, senasib, dan sama rasa adalah watak demokrasi. Pemimpin yang dikelola dalam dapur demokrasi harusnya pemimpin yang turun tangan, bukan urun angan.

Demokrasi, pada dasarnya bukan bertujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebuah cara rakyat untuk hidup adil sejahtera dengan jalan bernegara. Oleh karena itu, demokrasi tidak hanya oleh rakyat, tetapi juga untuk kebaikan rakyat (bonum commune). 

Ukuran sukses demokrasi bukanlah massa demokrasi berada di bilik suara selama lima menit, melainkan kualitas elite demokrasi yang berperan sebagai wakil rakyat. Dalam trias politika, tiada demokrasi tanpa legislatif.

Namun, kenyataannya demokrasi sering disusupi para penumpang gelap. Selepas dari belenggu otoritianisme rezim Suharto, rakyat sempat mengalami euforia demokrasi. Namun euforia demokrasi berubah seketika menjadi sebuah elegi dan eulogi -- mendengar dan menyaksikan praktik-praktik buruk yang berkembang pesat di kalangan pemangku jabatan. Korupsi, mafia, pencucian uang serta aneka atribut lainnya datang menghiasi wajah negeri ini.

Istilah-istilah itu, muncul seperti sebuah kata serapan yang kelak menjadi istilah keren bagi para elite di kemudian hari. Hemat saya, tindakan koruptif yang sudah menjamur di negeri ini, muncul dari istilah perjudian modern yang bernama demokrasi. Kita ingat bahwa money politic dipakai sebagai salah satu cara mendulang suara saat pesta demokrasi berlangsung. 

Sebelum duduk di kursi wakil rakyat, para politisi sudah terlebih dahulu (terbiasa) belajar mengelabui, merekayasa, dan menjiplak sebagai cara-cara modern mencapai tampuk kekuasaan.

Membeli suara rakyat dengan sistem piutang -- setelah terpilih utang-utang dilunasin. Praktik seperti ini tentunya akan terbawa hingga seorang politisi duduk di kursi jabatan. Lebih buruknya lagi cara-cara serta tujuan yang dicapai pun akan bertambah buruk pula. Dalam kadar yang demikian, lantas demokrasi pun menjadi akar tindakan koruptif.

Kecerdasan Rakyat

Melihat kenyataan buruk yang menimpa jiwa dan raga bangsa ini yang semakin keropos karena ulah kaum elite yang tak bertanggung jawab, rakyat mulai acungkan tangan. 

Kritikan dan aneka kontrol sosial lainnya bermunculan dan nuansanya tajam dan mencekik. Kritik pun tak hanya datang dari kalangan rakyat, tetapi juga dari alat kontrol lainnya, seperti lembaga pers. 

Opini dan teriakan rakyat sedikit demi sedikit mengeruk bibit kerakusan para elite. Rakyat semacam melakukan 'perlawanan lunak' atau protes bisu dengan membalikkan secara pragmatis posisi mereka sebagai 'alat' dengan sebuah spanduk di kampung menjelang pemilihan umum: "Kampung kami menunggu serangan fajar!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun