Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Transformasi Sosial dalam Etika Politik Paulus

7 Februari 2021   09:39 Diperbarui: 7 Februari 2021   17:33 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat-surat Rasul Paulus dalam misi. Foto: slideshare.net

Jika keringatmu belum kering, jangan mengharapkan upah. Sejatinya, upah diberikan kepada seseorang ketika keringatnya sudah mengering. Upah itu apa? Upah harus dipahami lebih dari sekadar bentuk persetujuan, yakni mengapresiasi dan memberi penghargaan.

"Andaikata, aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi, karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, maka pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau demikian, apakah upahku? Upahku ialah aku memberitakan Injil tanpa upah. Dan, bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil" (1 Kor 9:17-18).

Bicara soal upah, akhir-akhir ini memang menyentuh aspek "tremendum et fascinosum" (menarik, sekaligus horor). Menarik, tentunya jika upah benar-benar diterima dan sesuai dengan pengorbanan yang sudah dikeluarkan. Akan tetapi, di sisi lain, upah justru menjadi momok menakutkan ketika upah itu sendiri tidak pernah diterima dan tak sesuai dengan - sebanding dengan perjuangan yang sudah dilakukan.

Paulus memberitakan Injil tanpa upah. Ia bekerja di pabrik yang konon didirikan Yesus, tanpa keluhan mengenai upah. Ketika orang-orang di Korintus berselisih-paham mengenai upah, Paulus memberi masukan. 

Di hadapan Jemaat Korintus, Paulus berbicara dari sudut pandang sebagai seorang pekerja yang konsisten memberitakan Injil. Ia berbagi pengalaman. Ia berbagi tips. Ia menjadi penengah di antara yang berselisih dan berusaha menawarkan solusi (etika dunia kerja).

Jika melihat konteks geografis teks 1 Korintus 9:17-20, Paulus tentunya tengah berbicara dengan mereka yang umumnya berlatar-belakang pebisnis-pengusaha. 

Di zaman Paulus, Korintus merupakan kota pelabuhan yang sangat ramai. Korintus bisa dikatakan sebagai shelter ekonomi untuk wilayah Afrika dan Asia. 

Banyak pebisnis dari Eropa masuk ke wilayah bisnis baru (Afrika dan Asia) melalui pintu ekonomi Korintus. Hal yang sama, juga ketika konglomerat dari Afrika dan Asia hendak ke wilayah Eropa. Jalur sutra Korintus tetap menjadi rute andalan. Dengan latar konteks demikian, wajar jika kompetisi dunia kerja dan episentrum ekonomi kala itu berkembang di Korintus.

Jika dicermati lebih mendalam, persoalan-persoalan yang sering muncul di Kota Pelabuhan Korintus memang erat kaitannya dengan hal-hal etis-moral. Perjumpaan banyak budaya di pelabuhan teramai ini, seringkali membuat banyak orang kehilangan nurani dan mudah diinstal trend. Tapi, kali ini Paulus menyentil tema upah dalam dunia kerja. 

Hal ini penting, mengingat upah merupakan bentuk apresiasi seseorang atas hasil kerja. Saya memberi upah bukan berarti saya melunasi hutang persetujuan dengan orang yang bekerja dengan saya. Akan tetapi, lebih dari itu, upah perlu dilihat lebih jauh makna dan nilainya, yakni apresiasi dan bentuk penghargaan. Lalu, apakah Paulus menolak kerja yang dihargai upah?

Sejatinya tidak. Paulus tetap "menggarisbawahi upah." Kata Paulus: "Upahku ialah mewartakan Injil tanpa upah." Dalam hal ini, Paulus tetap menilai mengenai pentingnya upah. Upahku ialah mewartakan Injil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun