Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aku, Jilbab, dan Masa Depan Pendidikanku

25 Januari 2021   10:48 Diperbarui: 25 Januari 2021   22:21 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kewajiban penggunaan jilbab di lingkungan sekolah. Foto: via www.kompas.tv

Di sekolah-sekolah tertentu, kepatuhan pada aturan sekolah juga muncul lewat aturan yang berlaku umum. Misalkan, semua peserta didik wajib mengenakan seragam merah-putih untuk siswa-siswi SD, putih-biru tua untuk SMP, dan putih-abu-abu untuk SMA. 

Di luar atribut umum ini, tidak diperbolehkan. Jaket, gelang, atau aksesoris lain (katakanlah jilbab), bahkan untuk konteks institusi pendidikan tertentu tidak diperkenakan. Semua tuntutan ini mengarah ke bentuk keseragaman dan kesetaraan dalam dunia pendidikan. Maka, jika ada pihak sekolah yang mewajibkan peserta didiknya untuk berseragam laiknya jilbab -- apalagi di sekolah negeri -- hal ini tentunya sudah melanggar kebebasan pribadi. 

Hemat saya, dalam dunia pendidikan, segala keyakinan dan latar belakang (ekonomi, sosial, budaya) perlu ditanggalkan saat masuk ke dunia pendidikan. Opini boleh berbeda, perang gagasan boleh ada, akan tetapi penggunaan atribut-atribut khusus seharusnya tak dibawa pergi ke institusi sekolah.

Di Papua, misalkan, peserta didik tetap diwajibkan menggunakan seragam. Untuk konteks-konteks tertentu, seperti hari-hari khusus pergelaran budaya, aksesoris kebudayaan boleh dikenakan. Akan tetapi, tidak semua hari diperbolehkan untuk menggunakan aksesoris budaya. Apalah jadinya jika semua peserta didik (orang asli Papua dan non-Papua) diwajibkan menggunakan koteka selama berdinamika di kelas? Apakah semua peserta didik mau mengikuti aturan demikian demi keseragaman atau beragam alasan terkait indentitas?

Urgensi Jilbab untuk Pendidikan

Pemaksaan atau apalah pendekatan yang digunakan terkait penggunaan jilbab untuk semua peserta didik merupakan sebuah bentuk kemunduran dalam dunia akademis. Seharusnya, institusi pendidikan selalu mengajarkan kekuatan-kekuatan persatuan, kesetaraan, dan tolerasi, dalam dunia pendidikan. Kekuatan ini biasanya dibangun melalui upaya penyemaian keberagaman dan tetap menghargai perbedaan masing-masing orang.

Ketika pihak SMKN 2 Padang mewajibkan semua peserta didik untuk menggunakan jilbab, hal ini tentunya sudah keluar dari track sesungguhnya sebuah pabrik edukasi kebangsaan. Jika semua peserta didik adalah Muslim, pihak sekolah boleh berdiskusi agar menerapkan kebijakan khusus sekolah. 

Akan tetapi, selama ada orang yang berkeyakinan lain di dalam institusi pendidikan, tugas pihak sekolah adalah bagaimana merangkul yang berbeda ini agar sama-sama mengenyam pendidikan. Sekolah adalah pabrik tunas bangsa untuk semua. Pabrik ini tidak dibangun untuk mereka yang mayoritas (agama, suku, latar belakang).

Saya bisa perlihatkan contoh menarik terkait dunia pendidikan. Di Jepang, misalnya, semua peserta didik, baik yang normal (secara fisik dan psikis) maupun yang berkebutuhan khusus ditempatkan di satu kelas yang sama. Sekolah justru merangkul semua agar tak ada satu pun siswa yang ketinggalan informasi dan materi didik. 

Tugas ini memang berat, akan tetapi pihak sekolah berjuang agar mampu mendidik semua untuk semua. Berhadapan dengan realitas kelas demikian, sekolah-sekolah di Jepang menempatkan tiga guru untuk satu kelas. Ketiga guru ini hadir untuk mengawasi setiap dinamika kelas -- baik mereka yang normal, maupun mereka yang berkebutuhan khusus. Seragam mereka pun sama.

Lalu apa kontribusi atribut jilbab sehingga wajib dikenakan oleh setiap peserta didik dalam sebuah institusi pendidikan? Hemat saya, atribut atau aksesoris laiknya jilbab tak lain hanya menciptakan gap di antara peserta didik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun