Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Sriwijaya Air dan Sabuk Pengaman Industri Penerbangan

11 Januari 2021   09:48 Diperbarui: 13 Januari 2021   19:41 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pesawat Sriwijaya Air Being 737-500 yang jatuh dalam rute Jakarta-Pontianak pada 9 Januari 2021. Sumber: padek.jawapos.com.

Fasten your seatbelt! Inilah instruksi yang harus dipatuhi ketika melakukan perjalanan. Di kabin pesawat, kata-kata instruksi tadi adalah peringatan terkait keselamatan dalam penerbangan. Tak hanya ketika berpergian dengan pesawat. Ketika mudik dengan kendaraan pribadi, instruksi fasten your seatbelt juga diingatkan. Semuanya ini mengarah pada tujuan yang sama, yakni keselamatan. Di masa transisi -- pergantian tahun -- instruksi ini perlu diterapkan secara ketat. Mengingat, di masa transisi, indeks tingkat kecelakaan cukup rawan.

Faktor expired jenis alat produksi dan faktor alam bercampur-baur saat masa transisi. Untuk sebuah jenis produksi, masa transisi dipakai sebagai waktu untuk mengevaluasi, memperbaiki, dan memulai yang baru. Untuk kondisi alam, masa transisi menjadi latar yang tak mengenakan -- mengingat kondisi alam, cuaca bisa menjadi kendala dalam berdinamika.

Kecelakan pesawat Sriwijaya Air dengan rute penerbangan Jakarta -- Pontianak adalah duka bersama di awal tahun 2021. Kita terus berdoa agar semua korban bisa sesegera mungkin ditemukan. Sebagai keluarga besar para korban, kita terus memberi penguatan bagi para keluarga korban Sriwajaya Air. Hingga Minggu, (10/1/2021), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) atau Badan SAR Nasional (Basarnas) masih berupaya untuk menemukan titik lokasi jatuhnya pesawat.

Kecelakaan pesawat memang sudah kerapkali terjadi di Indonesia. Uniknya, kebanyakan peristiwa tragis jatuhnya pesawat seringkali muncul di awal atau di akhir tahun. Dua penanda waktu ini merupakan sebuah catatan serius untuk industri penerbangan kita. Pada Desember 2014, misalnya pesawat AirAsia dengan rute penerbangan Surabaya -- Singapura tiba-tiba jatuh di Laut Jawa. Saat itu, tidak ada satu korban yang selamat. Pada Oktober 2018 silam, pesawat Lion Air JT 610 dengan rute penerbangan Jakarta -- Pangkal Pinang jatuh di perairan dekat daerah Kerawang, Jawa Barat.

Kecelakaan pesawat, umumnya terjadi di masa transisi pergantian tahun. Waktu-waktu demikian adalah saat krusial kita mendengar informasi seputar bahaya. Jika ditinjau dari faktor ekologi, masa transisi pergantian tahun memang diberi latar cuaca yang tak bersahabat. Saat-saat pergantian tahun, peristiwa-peristiwa, seperti banjir, longsor, dan kecelakaan lain, laiknya jatuh pesawat, sering muncul di telinga warga Indonesia.

Apa sebetulnya yang hendak dicermati, sekaligus direfleksikan dari peristiwa semacam ini? Dari data profil yang ada (MI, 10/1/2021) pesawat Sriwijaya Air jenis Boeing 737-500 merupakan pesawat yang sudah masuk kategori pesawat tua. Pesawat ini diproduksi pada tahun 1984-2000. Sriwijaya Air jenis Boeing 737-500 melakukan terbang perdana pada 13 Mei 1994. Ini artinya, saat melakukan penerbangan kemarin, Sriwjaya Air sudah menginjak usia 26 tahun. Usia yang boleh dibilang "kurang produktif" ini, jika dicermati secara mendalam, dapat menjadi salah satu faktor penentu jatuhnya pesawat.

Alur riwayat penggunaan pesawat juga bisa menjadi bahan rujukan untuk memahami spesifikasi dan kelaikan pesawat untuk terbang. Pada 31 Mei 1994, Boeing 737-500 dikirim ke pemilik pertamanya, yakni Continental Airlines (Amerika Serikat). Status kepemilikan ini berlangsung hingga tahun 2010 dimana kepemilikannya kemudian berpindah ke United Airlines. 

Pada 15 Mei 2012, maskapai penerbangan domestik Indonesia, Sriwijaya Air memborong pesawat ini untuk dijadikan sebagai salah satu jenis kekuatan operasional maskapai. Dengan kata lain, pihak maskapai Sriwijaya Air telah menggunakan Boeing 737-500 ini selama sembilan tahun. Alasan uji berkala jenis produksi Sriwijaya Air tentunya bermasalah -- jika ditakar dari kondisi fisik dan stamina pesawat.

Maka, ada dua kemungkinan mengapa pesawat bisa lost contact dengan pihak navigasi udara di bandara. Pertama, soal kelayakan terbang sebuah pesawat. Pesawat Sriwijaya Air Boeing 737-500, seharusnya melihat kondisi-kondisi internal pesawat. Sesuai hitungan usia, Sriwijaya Air, seharusnya tak lagi melakukan penerbangan meski batas usia sebuah pesawat untuk laik terbang tak tercantum secara khusus dalam regulasi. Ketentuan hukum hanya membuat batas tertentu. Ada yang mengatakan 20 tahun, 35 tahun, dan lain-lain. Ketentuan ini, sejatinya hanya berkaitan dengan kondisi pesawat menyerap bahan bakar --  ketentuan lain terkait batas usia pesawat untuk tetap take off tak dijabarkan secara terperinci.

Alasan ketidakpastian usia penerbangan sebuah pesawat seharusnya tak melulu mengarah pada aturan pemerintah. Logika maskapai memang berfokus pada bisnis dan profit. Soal kelaikan dan lain-lain terkait kondisi pesawat kadang tak terlalu diperhatikan. 

Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak maskapai terkait usia pesawat (tak melanggar ketentuan regulasi soal batas usia sebuah jenis transportasi seperti pesawat untuk tetap terbang), akan tetapi, pihak maskapai seharusnya juga menilai unsur safety dalam penerbangan. Dan, aspek keselamatan ini pertama-tama dimulai dari kondisi pesawat yang akan dijadikan moda transportasi. Tanpa harus menunggu ketentuan yang disebutkan dalam regulasi, pihak maskapai sudah bisa mengevaluasi kondisi terkini elemen operasional dengan baik dan teliti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun