Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pengaruh Pemerintahan Demokrasi terhadap Perkembangan Ekonomi

23 November 2020   10:39 Diperbarui: 23 November 2020   10:47 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pedarahan hebat yang dialami seluruh lini perekonomian dunia selama masa pandemi Covid-19 memang harus disiasati. Dari gejolak perang dagang (war trade) antara Amerika Serikat (AS) dan Cina, gagasan proteksi ekonomi pun mulai bergelimang. Di masa pandemi Covid-19 ini, ekonomi dunia memang tengah berantakan. Angin segar, kemungkinan, sedikit ditiupkan dari hasil pemilihan umum AS yang memenangkan Joe Biden-Kamala Harris sebagai presiden terpilih.

Kemenangan Biden-Harris memang mengantisipasi diagnosis pendarahan ekonomi dunia. Hal ini terlihat dari reaksi spontan banyak negara. Aset berisiko dari negara berkembang, misalkan, ramai diborong, hingga bursa saham di Asia kompak menghijau. Pada perdagangan awal pekan lalu, Senin (9/11), indeks Nikkei di Jepang ditutup meroket 2,12%, disusul Shanghai Composite dari Tiongkok yang melesat 1,86%, KOSPI Korea Selatan terdongkrak 1,27%, Hang Seng Hong Kong loncat 1,18%, dan Straits Times Index (STI) Singapura terapresiasi 1,19%, juga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia ditutup menguat 0,38% di level 5.356 (MI, 11/11/2020).

Akan tetapi, kemenangan Biden tidak akan berarti apa-apa, jika sistem proteksi ekonomi negara-negara kurang menjamin. Lobi-lobi berlabel ekonomi selama masa pandemi ini, bagi para pakar ekonomi adalah strategi pembenahan mumpuni. Dari sekian banyak negara, Indonesia bahkan sudah beberapa kali didatangi lawatan bergengsi luar negeri, seperti Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Kunjungan mereka tidak terlepas dari keberhasilan Indonesia mengatur strategi "proteksi" ekonomi selama masa pandemi. Pertanyaannya adalah "Kenapa Indonesia?" Bukankah proteksi ekonomi paling kekar biasanya diperlihatkan oleh negara-negara "otoriter" dan bukan negara demokrasi seperti Indonesia?

Hippotesa Lee

Penonjolan unsur budaya sebagai kunci keberhasilan kesejahteraan sebuah bangsa, sempat membuat Samuel P. Huntington terdorong untuk menulis sebuah buku berjudul "The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order" (1996). Akan tetapi, di sisi lain, studi mengenai Jepang, yang dinilai sebagai pelopor "Mujizat Asia Timur" menjadi sangat laku. 

Tulisan-tulisan Robert Bellah, Maruyama Masao, dan Nakane Chie, bahkan sempat disimak kembali secara mendetail. Namun, sudah lebih dari sepuluh tahun ini, sesungguhnya telah banyak keraguan mengenai keunggulan nilai-nilai Asia itu.

Pada akhir dasawarsa 1980-an misalnya, sudah ada beberapa studi ilmiah yang mencoba menganalisa secara kritis kinerja "Mujizat Asia Timur." Salah satu studi yang populer adalah tulisan Karel von Wolferen, "The Enigma of Japanese Power: People and Politics in a Stateles Nation" (1989). 

Wartawan Belanda yang sudah sepuluh tahun menetap di Jepang itu, mampu menunjukkan bahwa suksesnya perekonomian Jepang ditopang oleh adanya represi terhadap rakyat -- meski hal itu dilakukan dengan sangat halus dengan berbagai aturan.

Sayangnya, pada masa itu, kritik terhadap Asia Timur, khususnya Jepang, masih terbatas pada bidang sosial dan politik belaka. Dari sisi ekonomi, Asia Timur masih tetap dinilai sebagai model ekonomi yang harus ditiru oleh negara-negara berkembang lainnya. "Mujizat" itu, bahkan telah melahirkan macan-macan Asia baru dalam bidang ekonomi, seperti Thailand, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Keunggulan "nilai-nilai Asia" yang juga disebut sebagai "Hipotesa Lee" -- diambil dari nama mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew -- seakan sudah menjadi sebuah tesis yang pasti.

Menurut Lee, untuk membangun ekonomi, diperlukan sebuah pemerintahan yang otoriter. Keberhasilan "Hipotesa Lee kadang diserang banyak kritik dari negara-negara Barat. Semua kritikan itu justru ditangkal. "Negara-negara Barat selalu menonjolkan pemberlakuan hak-hak asasi manusia (HAM) secara universal. 

Hal ini bisa merugikan apabila keuniversalan tersebut dipakai untuk mengingkari atau menyelubungi realitas perbedaan budaya," kata Menteri Luar Negeri Singapura Abdullah Badawi pada Konferensi Dunia mengenai Hak-hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tahun 1993.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun