Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Para Penggonggong dan Kaum Rebahan di Media Sosial

25 Oktober 2020   12:54 Diperbarui: 25 Oktober 2020   12:57 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Aneh sebetulnya. Bayangkan! Si artis B ngomong gak jelas pas "ngelive" sambil ngemil. Sekejap, warganet pada kerumun. Viewers-nya 3.000. Likers 6.000. Yang komen tembus angka 1000. Gila! Trus yang komen bilang: "Sehat terus ya tete, mbak, mas! Semoga diberkati Gusti Allah!" 

Beda sama yang ngepost kegiatan donasi. Likers-nya gak nyampe 100, yang komen cuman segitu. Mana isi komennya ngebully semua, nyinyirin, dan kritik. Dibilang sok pamer. Aneh. Ketahuan! Bangsa ini gak doyan kebaikan. Sukanya nularin hal-hal yang gak jelas.

Ada teman saya yang hobby-nya baca komentar netizen di media sosial. Katanya ramai. Kece, kacau, lucu, menghibur, geli, seru, dan saru. Saya menambahkan kata "dan saru," bukan "tapi saru." Soalnya di media sosial, komentar-komentar saru itu udah biasa. 

Warganet menyebut kelompok ini dengan label "tukang nyinyir." Kerjaannya cuman itu-itu aja. Nyinyir, bacot, saling nerkam. Kalo gak nyinyir kayak absen. Merasa tiada. Motto mereka adalah "Saya nyinyir, maka saya ada!" Gonggongan tukang nyinyir ini, biasanya asyik di dibaca. Komentar-komentarnya beraneka ragam.

Tukang nyinyir biasanya lahir dan dibesarkan dari sebuah konten provokatif dan hoax. Jika kita berselancar di layar ponsel atau laptop sekarang, kita akan menemukan beberapa orang yang getol membagikan tautan provokatif. 

Katakanlah soal bansos yang tidak tepat sasaran, bansos yang ditempelkan stiker srikandi, pembagian sembako bagi mereka yang sudah meninggal, tarik ulur kebijakan longgar-ketat soal penanganan virus korona, dan lain-lain. Masih banyak. Beragam. Semuanya diobral di media sosial. Siapa saja boleh liat, boleh meraba-raba dengan imajinasi, dan dipersilahkan memberi komentar.

Yang lagi viral sekarang adalah soal pamer bojo. Eh bukan! Maksud saya, pamer bantuan. Ada orang yang ngasi bantuan sambil nge-live. "Ya sekarang, kami bersama keluarga Bapak A yang mengalami dampak langsung pandemi Covid-19. Kami menyumbangkan sembako ini, semoga bermanfaat buat Bapak sekeluarga" kata si pemilik akun. 

Tidak apa-apa. Perbuatan baik harus diviralkan, perlu diketahui publik, dan layak dimonumenkan. Saya secara pribadi mengapresiasi tindakan "ngepost" perbuatan baik. Tapi, di balik itu, saya risih jika tindakan "nge-live" atau post foto-foto kegiatan donasi itu menjadi upaya eksploitasi orang miskin.

Di Indonesia, kebiasaan pamer kebaikan kadang kurang mendapat thumbs up. Padahal ini kampanye untuk kebaikan bersama. Ada orang yang memang gemar memergoki dan mengkritisi perilaku seseorang di media sosial. 

Pengamat gaya hidup, Lynda Ibrahim menyebut mereka ini sebagai penggonggong. Selain disebut penggonggong, mereka juga disebut kaum rebahan. Habis kerjaannya nyinyirin orang sambil rebahan. Enak rebahan sambil komen trus "ngelus-ngelus" darah militer warganet. Biar gerah. Asyik, ramai, menghibur.

Saya kadang merasa kasian dengan orang-orang yang pamer kebaikan. Jika diinvetaris, energi mereka lebih besar dikeluarkan ketimbang tukang gonggong yang kerjanya nyinyir sambil rebahan. 

Perlu sadar. Seseorang memberikan donasi tidak asal-asalan. Hal pertama yang mereka lakuin sebelum memberikan bantuan adalah mencari sasaran bantuan yang diberikan. Tepatnya untuk siapa bantuannya nanti. 

Lalu, ia mengikuti protokol pemerintah. Cuci tangan. Pakai masker. Selain itu, dokumentasi perbuatan baik juga merupakan unsur transparansi dalam pengelolaan bantuan. 

Hal ini menjaga kemungkinan ada ulah nakal para operator yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah atau donatur asli. Ini alasan mengapa bantun itu perlu dimonumen dan diabadikan lewat foto atau video.

Tapi, "Sama saja!", kata mereka yang suka gonggong. Tidak suka yang "show off." Kenapa harus dipost? Kenapa harus direkam? Kenapa gak dilakukan secara tersembunyi? Kenapa mereka dan bukan kami? Kenapa gak turun sendiri ke lapangan terus ngasi bantuan ke mereka yang memang membutuhkan, jika memang takut ada ulah operator nakal? Kenapa tangan kiri harus tahu kalau tangan kanan lagi ngasi sedekah? Bukannya jika tangan kanan bersedekah, tangan kiri gak boleh tahu?

Protes. Bangsa ini suka protes. Banyak maunya. Tidak cukup Rp 400-an triliun dikasi sama pemerintah. Masih saja nyinyir. Soal kebaikan jangan dipamer. Hemat saya, ini kelebihan kita, yang sejatinya dilihat sebagai kekurangan besar oleh orang yang sadar. 

Saya justru melihat anomali di sini. Aneh, lucu, dan memperihatinkan. Anomali memang terlihat. Jika artis A ngomong gak jelas saat live di medsos, semua wargenet pada nonton sampai habis. Gak mau diskip. Pokoknya nonton sampai selesai. Biar gak jelas kegiatan si artis. Acaranya si artis A makan nasi goreng, warganet nonton sampai senyum-senyum sendiri. Trus di bawahnya komen: "Sehat ya mbak atau mas." Bayangin?

Bangsa ini memang suka menularkan hal-hal yang kurang edukatif. Kita memang negara wkwkwkw. Tapi gak harus semua konten dan kegiatan yang dilakukan bernuansa wkwkwkw. Tularkan kebaikan melalui berbagai kanal di media sosial. Itu lebih baik ketimbang hanya mengkritik, nyinyir, dan bangun provokasi sambil rebahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun