Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ketika Upah Menodai Makna Kerja

20 Oktober 2020   07:44 Diperbarui: 20 Oktober 2020   08:01 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

"Tak peduli orang yang lalu lalang di sekitar mereka. Meski dilototi si raja siang hingga keringat mengucur deras dan kelewat jam kerja, mereka pantang menyerah. Upah mereka diberikan setelah keringat mengering."

Kalimat terakhir pada teras peryataan di atas adalah sebuah potret tentang kerja. Kerja dibahasakan dengan sesuatu yang dikeluarkan, dilepaskan -- entah keringat, tenaga, bahkan darah sekalipun. Setelah semuanya mengering, upah boleh diterima. 

Dengan kata lain, keringat adalah salah satu etalase yang memajang sederet hal yang dikerjakan seseorang. Keringat membuktikan bahwa seseorang bekerja. Durasi keringat mengucur adalah durasi seseorang bekerja. Setelah keringat mengering, upah lantas diberikan. Tragisnya, realitas kerja berkeringat mulai uzur dimakan tren dan gaya hidup. Kerja tidak lagi harus berkeringat. Sebut saja, mencuri. 

Mencuri uang rakyat adalah sebuah pekerjaan yang dijalankan oleh orang yang mengaku "pekerja" --tepatnya pelayan rakyat. Alih-alih menjadi wakil/pelayan rakyat, mereka malah mendapat baptisan baru bernama pencuri (baca: koruptor). Contoh lain dari kerja tanpa berkeringat adalah begal. Bermodalkan nekat, begal meraup keuntungan dari pekerjaannya. 

Akhir-akhir ini, kita juga mendengar wacana pembangunan gedung baru di kompleks Senayan. Para wakil rakyat ngotot memperbanyak fasilitas. Dari DPR ke arsitek. Belum menghasilkan apa-apa --belum bekerja-- DPR sibuk membuka lapangan kerja untuk dirinya sendiri. Mereka tidak pernah berkeringat, tetapi upah bergerak bak kereta cepat. Mereka hanya berkeringat saat debat soal uang, partai, fasilitas, perpustakaan terbesar di Asia, minta saham, dan atribut nakal lainnya.

Realitas kerja hampir mengalami kelunturan arti. Dari Karl Marx, kerja mendapat perhatian penuh. Penyamarataan hak dan tuntutan seseorang pun mulai diberi apresiasi sekaligus diperbaiki. Istilah kerja secara perlahan-lahan dibongkar dan disusun ulang. Kerja seharusnya membantu seseorang menyuburkan skill atau profesionalitasnya. Upaya recycle kerja akhirnya mendapat pemaknaan yang layak kunyah baik oleh si pekerja maupun mereka yang menikmati hasil kerja. 

Dalam berbagai kesempatan, orang menyebut kerja sebagai salah satu cara untuk menyalurkan berkat. Misalkan, dengan kemampuannya, Rm. Mangunwijaya, Pr mampu menciptakan sekolah dan ruang gerak-bebas bagi mereka yang dikucak mata. Dengan kata lain, kemampuan seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang nantinya dikonsumsi oleh khalayak ramai merupakan bagian dari penyebrangan berkat. 

Kerja membawa serta unsur kedalamaan makna dan keluasan resonansinya. Kerja seperti inilah yang mengantar manusia menuju homo humanis. Ketika orang bekerja, ia membawa serta kemampuan dan prospek yang diharapkan. Salah satu prospek yang diharapkan adalah menikmati hasil kerjanya. 

Akan tetapi, kenyataan malah berbicara sebaliknya, si pekerja mengalamai keterasingan dengan hasil yang diciptakannya sendiri. Ia terlampau jauh dengan produk-produk yang telah dibesarkannya sendiri. 

Kerja pun menjadi semacam sebuah kegiatan produksi yang berulang-ulang seperti kincir tanpa memberi kesempatan untuk menikmati hasil kerja itu sendiri. Waktu istirahat dari kerja pun, hanya sebentar. Jika waktu break ditelan jam kerja, lalu kapan si pekerja menikmati hasil kerja? Ketika kerja menjadi sebuah aktivitas produksi, nilai kerja pun habis ditelan tuntutan kegiatan produksi itu sendiri. Orang-orang yang tidak produktif pelan-pelan dilengser. 

Yang hanya menghasilkan sedikit produk akan dipotong gajinya dan yang tidak tahu menggunakan alat-alat produksi diberhentikan secara halus. Tuntutan untuk memegang alat-alat produksi menjadi salah satu titik kegagalan homo faber atau homo laborens. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun