Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pelajar dalam Sengatan SKCK Pasca-aksi Demo Tolak Omnibus Law

15 Oktober 2020   10:51 Diperbarui: 19 Oktober 2020   08:44 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak di bawah umur mengikuti aksi tolak UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Aksi menolak UU Cipta Kerja yang awalnya hanya banyak digelar kaum buruh dalam perkembangannya juga diikuti berbagai elemen masyarakat, dari mahasiswa, pelajar, hingga anak-anak di bawah umur. (Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

SKCK itu dianggap KPAI sebagai stigma yang ditempelkan kepada anak-anak sejak dini. Bahayanya, anak-anak mudah dilabeli dalam hidup pergaulan bersama. Ia merasa dirajam labeling dan menjadi minder ketika hendak masuk dalam sebuah perkumpulan atau bergabung dalam sebuah institusi pendidikan. 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur agar stigmatisasi dihindari dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. 

Jika UU berbicara demikian, seharusnya kepolisian menerbitkan surat peringatan atau teguran dengan level tertentu bagi para pelajar yang ikut bergabung dalam demo kemarin.

Jika memang pelajar terbukti melakukan pelanggaran ketika berdemo, pihak kepolisian bisa memberikan surat berupa teguran atau peringatan. Hal ini, hemat saya, mampu memberikan efek jera untuk anak. Ketika mereka menerima teguran dan peringatan dalam bentuk surat, ruang gerak mereka pun pelan-pelan akan dibenahi. 

Anak-anak akan mengingat dan menimba pelajaran tertentu jika peringatan berupa surat diberikan. Cara ini sejatinya lebih baik dan mendidik ketimbang "mengancam" masa depan anak dengan menolak menerbitkan SKCK.

Apa yang terlewatkan dalam tindakan menolak menerbitkan SKCK adalah soal dimensi pendidikan dari sebuah kebijakan. Unsur pendidikan dalam hal ini hilang karena anak-anak langsung disekap dengan sebuah ancaman berbentuk hukum. 

Bagaimana mungkin orientasi efek jera diupayakan melalui sebuah ancaman berbau hukum diterapkan untuk anak-anak? Penting diingat di sini bahwa strategi pendekatan dan pembinaan harus memperhitungkan level kedudukan seseorang dalam lingkungan sosial. 

Jika masih anak-anak, pendekatan yang dipakai pasti berbeda daripada mereka yang secara usia sudah dikategorikan sebagai pelanggar hukum. Perbedaan ini menentukan cara dan arah kebijakan kita dalam mendidik dan menata hidup bersama.

Untuk kategori anak, cara yang dipakai seharusnya lebih pada pendekatan, mentoring, dan pembinaan. Tiga hal ini menjadi tahapan penting terutama dalam menumbuhkan sense of regulation dalam hidup anak-anak. Jika seorang anak didekati, rasa percaya dirinya semakin diasah. 

Jika dirangkul, anak-anak merasa diperhatikan, dan jika dibina dengan cara yang baik, anak-anak pasti mau berubah. Hemat saya, inilah tahapan-tahapan pendekatan yang boleh diupayakan dalam mendulang efek jera berhadapan dengan anak-anak.

Bagi anak-anak, institusi kepolisian adalah bagian dari rumah pendidikan. Di dalam keluarga, seorang anak memang mengalami masa formasi sebuah pendidikan (karakter, kongnitif, psiko-motorik). Akan tetapi, terkadang tidak semua institusi keluarga mampu mendidik anaknya dengan cara yang baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun