Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahaya Kata: Memisahkan, Mengancam, dan Menguasai

15 Oktober 2020   06:51 Diperbarui: 15 Oktober 2020   06:53 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di beberapa lorong di sudut kota Jogja, saya menemukan spanduk bertulis demikian: "Lockdown! #BersatuLawanKorona". Tidak bisa lewat. Jika ingin lewat, perlu diperiksa dan perlu izin. Saya kemudian memutar sepeda dan mencari jalan yang lain. Di tempat lain, di beberapa gang, saya menemukan tulisan serupa "Stop! Jalan ditutup, cegah Covid-19." Kita sedang membuat pembatas.

Kata "lockdown, stop, jalan ditutup, dilarang lewat, atau tamu wajib lapor" adalah border atau pemisah. Kata-kata tersebut membangun jarak dan tembok. Tapi, kata-kata itu, tidak serta-merta dipajang. Di balik kata-kata tersebut, ada suasana yang melatabelakangi. Sejatinya ada ketakutan, ada kecemasan, ada kecurigaan, dan ada perang opsi, yakni antara hidup dan mati. Belakangan, beberapa spanduk dan papan pemisah tersebut dicabut dan menjadi seperti semula kembali.

Semua pernyataan yang ditulis pada spanduk, border, dan papan warning tadi adalah kata-kata bernyawa. Berhadapan dengan kata-kata yang bernyawa ini, orang patuh dan taat. Kata stop yang dipasang pada sebuah papan misalkan, mengisyaratkan bahwa Anda perlu berhenti, Anda tidak boleh lewat, dan Anda perlu berbalik arah. Jika orang ngeyel mau lewat, keselamatan tentu menjadi jaminannya.

Akhir-akhir ini, kita diperintah oleh kata-kata. "Dilarang mudik, di rumah aja, jaga kesehatan" adalah kata-kata yang selama ini memerintah. Kita patuh pada kata-kata. Kita takut pada kata-kata. Meski tak bersenjata, kata lebih kejam dan berkuasa. Tapi, tak jarang kita menemukan ada orang yang masuk bui karena kata-kata. Atau orang bertikai hanya karena kata "mudik" dan kata "pulang kampung." Dua kata ini bikin ricuh, riuh, sekaligus keruh suasana. Rezim kata memang berbahaya.

Dalam catatan sejarah, kata-kata telah membentuk cara pandang, cara bertindak, dan cara seseorang bertutur. Sebagai contoh, kata mayoritas dan minoritas. Keduanya langsung membentuk cara seseorang dalam berpikir. Selain mengubah cara seseorang berpikir, kata mayoritas dan minoritas membuat seseorang tidak nyaman dan tidak bebas. Atau kata makan, sebagai contoh lain. Jika orang menyebut kata makan, orang lalu diarahkan pada jenis menu tertentu yang siap dilahap. Ketika seorang guru mengatakan "Dengar!", murid pasti diam, memperbaiki posisi duduk atau berdiri, dan mulai mengarahkan pandangan ke sumber bunyi. Dan, ketika mendengar kata "santun", seseorang mulai memperhatikan penampilan, cara berbicara, dll. Dalam hal ini, dan untuk saat ini, kata-kata itu berkuasa.

Di Amerika Serikat, kata-kata pernah menjadi penindas. Di sebuah lorong di salah satu kota di Amerika, ditemukan sebuah papan pengumuman bertuliskan demikian, "No Niggers, No Jews, and No Dogs!" Di lain tempat juga ditemukan slogan yang bertuliskan "Border!" -- kata pengarah yang menunjukkan pemisahan antara yang kulit putih dan yang kulit hitam. Pemisahan ini adalah sebuah strategi pertahanan, yakni antara ras masing-masing warga negara. Ini soal rezim kata. Kata mengambil peran 'tuk menindas dan memperketat pemisah.

Sebuah Undang-undang Perdata dari Virginia tahun 1847 berucap, "Barangsiapa (orang kulit putih) hadir bersama budak, atau orang negro yang bebas dengan tujuan mengajari mereka membaca atau menulis...akan dihukum penjara." Percampuran saat itu sama sekali dilarang. Orang kulit putih dilarang berbicara dengan orang kulit hitam; dilarang makan bersama, dilarang menerima pemberiaan orang kulit hitam, bahkan dilarang menggunakan toilet yang sama. Yang putih harus untuk putih. Maka, kemurnian orang kulit putih harus dijaga, sekalipun menggunakan kekerasan.

Di Indonesia, border atau pemisah diperlihatakan malalui kata ODP, PDP, dan Positif Covid-19. Kata-kata ini sangat kejam. Penyandang kata ODP, PDP, dan Positif Covid-19 dipisahkan, diberi pembatas, dan jangan sekali-sekali didekati, apalagi disentuh. Biarkah saja mereka berada di seberang. Bangun pembatas berhadapan dengan mereka.

Di beberapa daerah di Indonesia, nasib penyandang kata-kata ini sungguh memprihatinkan. Seperti halnya orang kulit hitam dalam potret sejarah rasial di Amerika Serikat, mereka yang disebut ODP, PDP, dan Positif Covid-19 kadang diperlakukan secara tidak manusiawi. Bahkan, pemakamannya pun sangat menyedihkan. Tak ada keluarga, tak ada yang melayat, tak ada prosesi, dan tragisnya ada yang menolak 'tuk menguburkan jenazah mereka.

Upaya memboikot atau membuat pembatas dengan kata sebaiknya dihentikan. Pembatasan dan upaya menutup diri, lama-kelamaan akan menciptakan pola masyarakat eksklusif. Dan, inilah cikal bakal lahirnya kebencian dan saling curiga. Kita sebagai negara demokrasi sudah semestinya sadar dan disiplin dengan kebijakan dan aturan bersama yang diupayakan dalam memerangi pandemi Covid-19. Seharusnya dengan kesadaran masing-masing, penegasan melalui kata serta aksi lain dalam bentuk tirani kata dihilangkan.

Kita tunduk pada kata. Sampai-sampai ada yang berjuang mati-matian melawan kata-kata. Perang tanding di dunia maya dan saling nyinyir pun terjadi karena permainan kata-kata. Bahkan kebencian, kadang lahir karena ulah kata. Benar bahwa kita memang tidak pernah lepas dari kata-kata. Akan tetapi, kita juga perlu bijak dalam menggunakan kata-kata. Kita berusaha agar, kata-kata tetap menjadi penghubung relasi dengan sesama, bukan sebagai pemisah. Jaga kata-kata Anda dan perbanyak kata penghubung!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun