Mohon tunggu...
Kristian Ndori
Kristian Ndori Mohon Tunggu... Dosen - Menulis tentang sastra dan sejarah.

Membaca dunia dengan gayung Kiri.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Saat Kabar Membuka Suara

14 September 2023   19:46 Diperbarui: 14 September 2023   21:50 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : dokumen/kristianndori)

 

Awalnya aku kaku, tapi aku kuat dalam amal sebuah keadaan. Sebenarnya ada hal rancu, tapi dia tidak peduli. Lambat jua aku kagum dengan kolase dirinya. Tapi kali ini aku tidak boleh tunduk. Rasa saat ini memang sedemikian rimbu padahal aku sedang tidak berada dalam gesah sebuah prasangka. Huhh, senang rasanya bisa masuk dalam dua buah sengatan ultra-kasih. Kali ini aku benar-benar ngefans sama titik tindak yang dia gumuhkan. Padahal sebelumnya kami tidak pernah bertemu. Laiknya sodoran ruang yang sudah terskematik dalam kicauan gunda. Aku pasrah.  

Tapi apakah aku menyerah? Tentu bukan hal yang sulit bagiku untuk memanjakan wanita seusianya. Aku pasti bilang tidak. Tidak bukan berarti aku gelisah, tidak juga bukan berarti aku terlena, tapi tidak hanya mengartikan kasual kesibukan. "lebay..", kata dia sambil menyorot sedotan juss diruas bibirnya. "masa lebay, bukannya kamu suka dibelai dengan kalimat cinta dariku?", lengahku sambil melolot ke jari telunjuknya yang sedang mengetuk-ngetuk sedotannya.

Kala itu, aku duduk bersebrangan dengannya karena belum berani menyinggung bau parfum yang dia kenakan. Entah kenapa dahiku sesaat mengkerut. Aku bisa merasakan wangi parfum entah darimana siuknya. Tapi keyakinanku benar-benar tidak bisa dieslonisasi. "ini pasti bau parfum dia", seruku dalam hati sambil sipuh. "Kamu kenapa?", deruhnya menyatu dalam sipuhku.

Melepas canda dalam ruangan yang tidak begitu sempit. Berbagi pengalaman, sambil terisak karena kami datang dari sudut rumah yang berbeda. Dia dari barat, sedangkan aku dari selatan. Sungguh pertemuan yang lucu, kataku.

Sesaat aku merasa lesuh, karena dia berbincang sembari menggenggam telpon miliknya. Aku yang sedang riang berdagang-cerita perlahan mengecilkan suaraku. Usik? Aku bertanya pada diriku. Mengutik dan mengutik lagi handphone miliknya membuat jemariku sedikit kesal. Tapi aku mengubur pandanganku itu, dan terus menanyakan apa saja yang dia lakukan selama di kota ini. Kembalinya dalam perbincangan membuat payung firasatku terlihat fresssh. "yesss", sua-ku dalam hati. Aku yang tidak mau kehilangan kata demi kata yang dia ucap, aku selalu merekamnya dengan jejak. 

Dia lucu. Dia asik. Dia pintar. Dia blak-blakan. Dia konyol. Dia pemalu. Dan dia peduli. Aku suka. Tapi entah kenapa aku lusuh, bingung bercampur rusuh yang sekira terus menderu."Katakan saja tuan", aku berteriak sangat kencang dari dalam. Berpikir dia bisa mendengarnya. Mungkin aku malu kala itu. Tiba-tiba saja datang dari dalam perbincangan, sekala membuat dia berhenti bicara, karena mendapati sebuah telepon dari seseorang yang aku tidak tau itu siapa?. Berharap itu bukan pacarnya. Runggutku yang terlalu berlebihan. "Sttttt", aku tidak peduli.

Aku mendengar bincangnya sesaat, tatkala aku pura-pura membaca buku yang kugeletak diatas meja. Alih-alih membaca aku cuman pengen tau, siapa sih gelagat orang yang ada di telpon itu?

Baiknya, dia berkata bahwa temannya akan datang kemari. Aku yang sedang gelisah pun sesaat menyetujui kabar darinya. Walaupun aku merasa risih yang dalam. Aku sebenarnya tidak mau ada seorangpun yang boleh menggapai keberadaan kami. Karena posisiku kala itu lagi candu.

Suakan sejenak membuat saya semakin tidak bisa menahan amarah, rasa yang ingin aku sampaikan tapi tidak bisa terlalu cepat. Bukankah ini waktu yang tepat, sajakku sebelum datang kawanannya. Tapi dia malah menanyakan waktu luangku. Ingin sekali rasanya aku tidak mau membahas itu. Kiranya dia tau apa yang membuatku risau. Hanya saja aku kurang ekspos, atau naluriku aja yang terlalu seliweran. "bisa gasih kamu ungkap duluan?", teriakan batinku yang kedua kalinya. Ehh, detik itu juga hentakan kaki dan ucapan salam langsung menghampiri. 

Dua kawannya datang secara memergoki perbincangan kami. Salam yang mereka tonggaki ,membuat rombongan rasa dan cuitan kata dariku perlahan memudar. Takut kalau mereka tau. Uluran tangan yang sepersekian cepat tertangkap diantara kami bertiga, suah berkenalan. Padahal aku belum sempat menanyakan tentang pacarnya. Entah seperti apa dan siapa lelaki yang dia kagumi. Tapi aku masih dalam kubu ketakutan. Ruangan itu sudah ramai. Masanya sudah tidak bisa aku ajak sejenak untuk berdialektika. Kuncinya sedang dibawa pendekar yang memiliki rasa. Bunganya sudah tidak aku sirami. Kesal. Kenangku dalam relung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun