Mohon tunggu...
Krismas Situmorang
Krismas Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger Indonesia

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Daun Itu Telah Menguning

25 Desember 2020   05:52 Diperbarui: 25 Desember 2020   06:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, perahu telah membawaku merayap ke suatu tempat. Aku biasa berkunjung untuk mengais keberuntunganku. Di sana aku biasa mendapat bulir-bulir kehidupan untuk nafas-nafas yang menantiku pulang.

Aku tak pernah jenuh menjalaninya, meski keringat terus menetes dan tulangku gemeretak ngilu. Sebuah kesenangan rutin ketika menatap cahaya yang mengintip di timur, lalu berkejaran di antara perahu-perahu berkaki dua yang memburu di sampingku dan di depanku.

Hari ini, dia berada tak jauh dariku Ya, dia yang telah banyak memakan asam dan garam itu selalu ada dalam diam. Tak banyak suara yang terdengar dari mulutnya. Perjalanannya sudah panjang dan jauh.

Kini dia hanya bergerak dan membisu. Mungkin dia merasa jenuh atas perjalanannya yang jauh itu. Dia merasa kesepian di tengah hari-harinya yang selalu sama. Aku tersadar ketika melihatnya  diam termangu. Pikiranku mulai liar menari-nari tak menentu.

 Aku mulai bertanya pada diriku, apakah aku akan melalui waktu seperti perjalanannya itu? Sesaat aku langsung menutup wajahku ketika membayangkannya.

Menalar diri

Pada titik ini, aku menalar diriku dan mencoba membanding-bandingkan. Aku mungkin tak sekuat dirinya yang tegak berdiri menatap masa depannya. Entahlah, masa depannya mungkin hanya sebentar lagi. Sang Pemilik Kebun mungkin akan segera memanen dirinya.

Aku tak tahu persis, sudah berapa banyak buah yang dia hasilkan. Entah sudah berapa mulut yang sudah merasakan buahnya. Aku hanya mengetahui bahwa dia telah berbuah banyak. Aku tersadar, mungkin inilah garis waktunya.

Kemudian, dia berkata-kata dan terus bicara. Semakin lama, suaranya semakin melemah, serak dan akhirnya menghilang dalam kesunyian. Tak ada yang membendung ketika sebuah tetesan meluncur kencang dari pelupuk matanya menuju bumi.

Kesepian Hati

"Aku kesepian," katanya. "Aku tidak memiliki teman untuk berbicara. Bibirku hampir melekat karena diam. Suaraku mengendap mendekati bumi." Ya, dia berada tak jauh dariku. Aku menghampirinya sambil tersenyum dan melempar lelucon. Aku bahkan tak merasa lucu ketika mendengarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun