Mohon tunggu...
Kris Kirana
Kris Kirana Mohon Tunggu... Pensiunan -

SMA 1KUDUS - FK UNDIP - MM UGM | PERTAMINA - PAMJAKI - LAFAI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menyingkap Tabir Defisit

17 Januari 2019   13:28 Diperbarui: 17 Januari 2019   15:00 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  • Akselerasi kepesertaan
  • Komitmen, definisi dan tujuan UHC
  • Defisit: dari awal juga disadari seperti itu...
  • JKN diluncurkan tanpa "pengendalian biaya"

Semoga tidak perlu ada debat tentang JKN. Mengejar target kepesertaan ditengah pusaran isu sekitar defisit bakal makin rumit. Kecuali untuk merumuskan bagaimana membangun kepedulan dan semangat bekerja sama melakukan perubahan perbaikan. Untuk sebuah reformasi pembangunan kesehatan masa depan.

Seluruh penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan merupakan salah satu sasaran pokok yang hendak dicapai pada tahun 2019.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2012-2019, target peserta program JKN pada tahun 2019 ditetapkan minimum 95% jumlah penduduk. Sedangkan perlindungan sosial jaminan kesehatan bagi penduduk rentan dan kurang mampu dtargetkan mencakup 40% penduduk berpendapatan terendah.

Jumlah peserta JKN per 1 Januari 2019 tercatat 215,40 juta jiwa atau 80,35% dari jumlah penduduk tahun 2019 sebanyak 268,07 juta jiwa. Yang belum daftar 49,85 juta jiwa. Untuk mencapai target 95% penduduk masih perlu 39,27 juta peserta baru.

Per 1 Januari 2019 tercatat 96.64 juta PBI APBN dan 33,15 juta PBI APBD sehingga total peserta PBI APBN dan APBD mencapai 129,79 juta jiwa atau mencapai 60,26% jumlah peserta JKN, atau sebesar 48,42% terhadap jumlah penduduk tahun 2019.

Pusaran isu defisit seolah mampu menutupi pengamatan dan intervensi pada berbagai isu fundamental yang seyogyanya perlu dikedepankan. Masih adakah cukup kapasitas dan sumber daya guna menghadapi masalah ketidaksetaraan akses, keterbatasan SDM dan infrastruktur kesehatan, kualitas pelayanan, kelemahan tata kelola, dan lainnya.

Masih adakah kepedulian dan semangat bekerja sama membangun landasan program JKN melalui penguatan pelayanan primer yang berpusat pada orang (people-centred), terintegrasi dan responsif.

Mewujudkan cakupan universal bukan prestasi target kepesertaan semata. Hendaknya jangan disandingkan dengan isu defisit beruntun yang makin menggelembung.

Definisi cakupan universal mengandung tiga tujuan yang saling terkait: (1) Keadilan akses pelayanan kesehatan; (2) Pelayanan kesehatan yang berkualitas; dan (3) Perlindungan dari kesulitan keuangan ketika membutuhkan pelayanan kesehatan.

Akselerasi kepesertaan


Inisiatif akselerasi kepesertaan telah mengemuka dalam Rapat Koordinasi BUMN di Gedung Kementerian BUMN, 3 Oktober 2013.[1] PT Askes (Persero) menyampaikan agar BUMN dapat berkomitmen untuk segera ikut serta dalam program JKN sebelum Peta Jalan Menuju JKN 2012-2019 diluncurkan. 

Menanggapi rencana percepatan tersebut Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menyelenggarakan acara Dialog Interaktif di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, 11 Oktober 2013, mengundang Deputy Bidang Usaha Jasa Kementerian BUMN RI dan Dirut PT Askes (Persero) sebagai nara sumber. Dari berbagai topik dialog diantaranya adalah tentang percepatan kepesertaan, peran DJSN, pembiayaan, koordinasi manfaat, jaminan mutu pelayanan dan kesiapan pelayanan primer.[2]

Pada 21 Oktober 2013 di Sukabumi, Jawa Barat, PT Askes (Persero) bersama pimpinan BUMN menandatangani komitmen bertema "BUMN sebagai motor penggerak sektor industri dalam perluasan peserta jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan". Dirut PT Askes (Persero) mengatakan "Indonesia akan menjadi negara terbesar yang memiliki jaminan kesehatan di bawah satu badan negara, yaitu BPJS Kesehatan"[3]

Pada 27 Desember 2014 diterbitkan Perpres No.111/2013, yang mengandung klausul perubahan batas waktu pendaftaran kepesertaan untuk pekerja penerima upah yang dipercepat dibandingkan pada Perpres No12/2013 (23 Januari 2013).

Batas waktu pendaftaran untuk BUMN, usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil berubah dari 1 Januari 2019 menjadi 1 Januari 2015 (Pasal 6 ayat 3a), dan untuk usaha mikro berubah dari 1 Januari 2019 menjadi 1 Januari 2016 (Pasal 6 ayat 3b).

Semangat BPJS Kesehatan untuk mencapai target kepesertaan dapat dipahami karena merupakan salah satu sasaran pokok yang hendak dicapai pada tahun 2019: "Seluruh penduduk Indonesia (yang pada 2019 diperkirakan sekitar 257,5 juta jiwa) mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan."[4] Sedangkan dalam RPJMN 2012-2019, target peserta jaminan kesehatan melalui SJSN bidang kesehatan pada tahun 2019 ditetapkan mencakup minimum 95% dari jumlah penduduk.[5]

Jumlah peserta JKN per 1 Januari 2019 tercatat 215,40 juta jiwa[6] atau sebesar 80,35% dari jumlah penduduk tahun 2019 yang di estimasi 268,07 juta jiwa. Penduduk yang belum daftar 49,85 juta jiwa. Untuk mencapai target cakupan JKN minimum 95% penduduk perlu tambaha peserta baru sebanyak 39,27 juta jiwa.

Mencapai cakupan universal ternyata bukan hanya tentang prestasi meraih target kepesertaan. Pusaran isu disekitar defisit telah menjadi masalah yang kompleks dan rumit. Menyerap banyak perhatian dan sumber daya publik maupun privat. Berbagai isu fundamental yang lain mungkin telah terabaikan karenanya.

Ada berbagai tantangan cakupan universal yang harus dihadapi dalam era Sustainabel Development Goals (SDGs). Diantaranya adalah tentang kelemahan sistem kesehatan, pembiayaan kesehatan, ketidaksetaraan akses, keterbatasan SDM dan infrastruktur kesehatan, kualitas pelayanan dan produk medik serta obat-obatan di bawah standar, kelemahan tata kelola, informasi dan akuntabilitas, dan lainnya.[7] 

Semangat untuk meraih target kepesertaan dalam pusaran isu sekitar defisit dapat menimbulkan tanda tanya. Terlebih bila isu-isu fundamental lain mungkin tertinggal, padahal harusnya dikdepankan. Perlu menengok sekilas tentang komitmen, definisi dan tujuan cakupan universal.

Komitmen, definisi dan tujuan UHC

Komitmen seluruh negara anggota WHO untuk mewujudkan cakupan universal (UHC: universal health coverage) disepakati pada 25 Mei 2005 ketika Majelis Kesehatan Dunia mengesahkan Resolusi WHA58.33 yang bertema: "Sustainabilitas pembiayaan kesehatan, cakupan universal dan jaminan kesehatan sosial."[8]

Cakupan universal artinya memastikan semua orang dapat menggunakan pelayanan kesehatan berkualitas yang mereka butuhkan, dan memastikan bahwa penggunaan pelayanan tersebut tidak menimbulkan kesulitan keuangan bagi penggunanya.[9] 

Definisi tersebut mengandung tiga tujuan yang saling terkait: (1) Keadilan akses pelayanan kesehatan; (2) Pelayanan kesehatan yang berkualitas; dan (3) Perlindungan dari kesulitan keuangan ketika membutuhkan pelayanan kesehatan.[10]

Setiap target pada cakupan kesehatan perlu dapat menopang semua target yang lain. Berfokus pada pendekatan yang lebih berkelanjutan melalui reformasi seluruh sistem kesehatan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan pelayanan kesehatan yang terintegrasi dan pelayanan yang berpusat pada orang (people-centred care).[11]

Untuk mencapai cakupan universal, pelayanan kesehatan harus didasarkan pada pendekatan pelayanan primer yang berpusat pada orang, terintegrasi dan responsif.[12] 

Menteri Kesehatan juga mengungkapkan dalam kata sambutan Peta Jalan Menuju JKN 2012-2019 bahwa Indonesia bersama negara anggota WHO Asia Tenggara telah menyepakati strategi pencapaian jaminan kesehatan semesta. yang menempatkan pelayanan kesehatan primer sebagai pusat jaminan kesehatan semesta.[13]

Defisit: dari awal juga disadari seperti itu...

Dua bulan setelah peluncuran JKN diberitakan BPJS Kesehatan terancam bangkrut, tetapi ditepis dan dikatakan posisi keuangan BPJS sangat aman.[14] 

Tetapi kemudian diungkapkan banyak peserta mandiri yang menunggak,[15] dan banyak yang menderita penyakit katastropik.[16] Masyarakat mampu juga banyak yang baru mendaftar ketika sakit berat.[17] 

Defisit juga didorong fenomena efek asuransi, masyarakat kelas bawah berbondong-bondong mendaftar ketika sakit. [18] Defisit juga dipicu moral hazard sekelompok masyarakat mampu yang memanfaatkan fasilitas BPJS karena ingin mendapat keuntungan.[19] 

Dalam "blak-blakan" di markas detikcom, 28 September 2018 Dirut BPJS Kesehatan mengatakan iuran penerima bantuan iuran (PBI) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas III dan kelas II belum sesuai dengan hitungan aktuaria, hitungan keekonomian, atau hitungan akademik. Tetapi iuran tidak dinaikkan karena pertimbangan keterbatasan ruang fiskal Pemerintah dan daya beli masyarakat.[20]

Kalau boleh disimpulkan defisit ini bukan karena ketidakmampuan manajemen, tapi memang dari awal juga disadari seperti itu..." [21] 

JKN diluncurkan tanpa "pengendalian biaya"

Peta Jalan telah mengungkapkan bahwa perluasan jaminan ketiga dimensi cakupan universal sangat tergantung pada kemampuan keuangan suatu negara dan pilihan penduduknya;[22] dan kemauan politik Pemerintah.[23] Makin kaya suatu negara, semakin mampu negara menjamin seluruh penduduk untuk seluruh layanan kesehatan.[24] 

Tetapi juga diungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman masa lalu dan pengalaman penyediaan jaminan kesehatan untuk pegawai negeri, maka Indonesia menghendaki jaminan kesehatan untuk semua penduduk, menjamin semua penyakit dan biaya yang menjadi tanggungan penduduk sekecil mungkin.[25]

Menurut Peta Jalan rincian tentang paket manfaat pelayanan kesehatan dan urun biaya diatur lebih lanjut dalam Perpres. Perlu ada sinkronisasi dan penjabaran lebih lanjut tentang paket manfaat yang dijamin dan tidak dijamin dalam program JKN.[26]

Tetapi Perpres No.111/2013 ternyata tidak mengandung rincian tentang paket manfaat pelayanan kesehatan dan urun biaya. 

Program JKN diluncurkan tanpa dilengkapi perangkat kebijakan tentang manfaat, yang seyogyanya dirumuskan dengan rincian yang jelas secara eksplisit, dalam rangka menjamin kesinambungan program sesuai kemampuan keuangan BPJS dan menjadi bagian dari upaya pengendalian.

Penjelasan Pasal 22 ayat (1) UU No.40/2004 diantaranya menyebutkan: "Pelayanan tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar, baik mutu maupun jenis pelayanannya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan kepuasan peserta. Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS. Hal ini diperlukan untuk kehati-hatian."

Banyak negara menerapkan kebijakan pembatasan manfaat dan urun biaya. Skema urun biaya lebih efektif dan dapat dirancang untuk diterapkan secara adil, berpihak kepada yang. Penduduk lebih mampu akan dapat memahami dan ikut mendukung bila dikomunikasikan secara jelas dan tranparan, terutama bila diterapkan sejak awal.

Penjelasan Pasal 22 ayat (2) UU No.40/2004 diantaranya menyebutkan: "Urun biaya menjadi bagian upaya pengendalian, terutama upaya pengendalian dalam menerima pelayanan kesehatan."

Peta Jalan disusun sebagai pedoman kerja dalam rangka menyiapkan operasional BPJS Kesehatan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Peta Jalan diterbitkan oleh DJSN dan diluncurkan pada 29 November 2012. Peta Jalan menjadi pegangan bagi semua pihak untuk memahami dan menyiapkan diri berperan aktif untuk program JKN. Masyarakat diharap memantau secara aktif dan terus menerus berperan dan sekaligus berperan menjadi pengawas (social control).[27]

Skema urun biaya NHI, Taiwan[28]

Berikut contoh skema urun biaya pada program jaminan kesehatan nasional Taiwan, yang pernah mengalami defisit selama 11 tahun (1999--2009).

Penduduk yang dibebaskan dari semua jenis urun biaya diantaranya adalah: penderita penyakit katastrofik, penduduk tinggal di pegunungan atau kepulauan terpencil, wanita melahirkan, veteran, penduduk miskin, anak-anak umur dibawah tiga tahun.

Urun biaya Rawat jalan di RS kabupaten sebesar NT$50 dan tanpa rujukan NT$80; di RS propinsi NT$100 dan tanpa rujukan NT$240. (NT$1 = Rp493,45).

Obat per resep dibawah NT$100 tidak ada urun biaya, NT$100-200 sebesar NT$20, NT$200-300 sebesar NT$40 dan seterusnya. Obat resep ulang untuk 100 jenis penyakit kronis yang terdaftar juga dibebaskan dari urun biaya.

Rawat inap penyakit akut 30 hari atau kurang sebesar 10%, 31-60 hari sebesar 20% dan 61 hari atau lebih sebesar 30%. Untuk penyakit kronik 30 hari atau kurang sebesar 5%, 31-90 hari sebesar 10%, 91-180 hari sebesar 20% dan 181 hari atau lebih sebesar 30%.

 

  

[1] BUMN (2013) BUMN Dukung Jaminan Kesehatan Nasional, 10 Oct. Link: goo.gl/wxnpmR

  

[2] Hadiwardojo, SP (2013) Dialog Interaktif FSPPB: Masalah BPJS 11 Oktober 2013 (unpublish).

   

[3] Detik (2013) 140 BUMN Tandatangani Komitmen Sukseskan BPJS Kesehatan, 21 Oct. Link: goo.gl/oCjzNW

   

[4] Dewan Jaminan Sosial Nasional (2012) Op. cit. p.28. 

   

[5] BPPN (2014) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I, Tabel 5.1.

   

[6] BPJS Kesehatan (2019) Peserta program JKN per 1 Januari 2019. Link: goo.gl/PX9MsM

   

[7] WHO, 2015, Health in 2015, Op.cit., pp.46-47

   

[8] WHO (2005) Fifty-eighth World Health Assembly: Resolutions and decisions. Link: goo.gl/pPrnCm

   

[9] WHO (undated) What is health financing for universal coverage? Link: goo.gl/P3SvUN

   

[10] Ibid.

   

[11] WHO (2015) Health in 2015: From MDGs to SDGs Chapter 3, pp.41. Link: goo.gl/x7hYyT

   

[12] WHO 2015, Health in 2015, Op.cit., pp.60

   

[13] DJSN (2012) Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012--2019. pp. 9-11. 

   

[14] BPJS Kesehatan (2014) Sumber Dana Banyak, BPJS Sangat Sehat. 3 Apr. Link: goo.gl/yFRjBj 

   

[15] Antara (2014) Peserta mandiri banyak menunggak premi BPJS Kesehatan. 25 Agu. Link: goo.gl/FsUDHT

   

[16] Depkes (2014) Kebanyakan Peserta JKN Mandiri Miliki Penyakit Katastropik. 11 Dec. Link: goo.gl/kG8Xc8

   

[17] BeritaSatu (2014) Masyarakat Diimbau Daftar BPJS Kesehatan Sebelum Sakit. 5 Nov. Link: goo.gl/wkGTcx 

   

[18] Detik (2015) Klaim Melonjak, Iuran BPJS Diusulkan Naik 43% Jadi Rp 27.500/Bulan. 17 Feb. Link: goo.gl/sR2rqf

   

[19] Kompas (2015) BPJS Kesehatan Minta Iuran Naik Jadi Rp 40.000. 5 Jun. Link: goo.gl/S9hmxH

   

[20] Detik (2018) Penjelasan Dirut BPJS Kesehatan yang Tekor Rp 16,5 Triliun. 28 Sep. Link: goo.gl/AJFBk6

   

[21] Ibid.

   

[22] DJSN (2012) Op. it. pp.9. 

   

[23] DJSN (2012) Op. cit. pp.10. 

   

[24] DJSN (2012) Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012--2019. pp. 10-11. 

   

[25] DJSN (2012) Op. cit. p.11. 

   

[26] DJSN (2012) Op. cit. p.82. 

   

[27] DJSN 2012, Peta Jalan, Op.cit., pp. 15. 

   

[28]. National Health Insurance Administration, Ministry of Health and Welfare, Taiwan (2017) Medical Services: Copayments. https://www.nhi.gov.tw/english/Content_List.aspx?n=E5509C8FE29950EA&topn=1D1ECC54F86E9050 21 October 2018

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun