Â
Dunia zaman ini ditandai dengan berkembang-pesatnya teknologi dan komunikasi yang lazim disebut globalisasi. Umumnya, manusia tidak bisa lari dan sebaliknya juga tidak bisa diam berhadapan dengan situasi ini. Hal ini beralasan, di satu pihak, globalisasi berkembang karena terkoneksinya manusia dalam 'dunia antah-berantah' dan di lain pihak, globalisasi (bisa) mengikis identitas manusia dan peradabannya karena ketiadaan penyaring rasional.Â
Mari kita simak kearifan lokal, dalam hal ini budaya tradisional kita. Budaya tradisional mulai tersudut dan bahkan dipinggirkan berhadapan dengan globalisasi. Orang merasa malu dan konyol bila memakai sarung adat di tengah kota, orang dipandang kampungan bila menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari dan masih banyak lagi. Mau tak mau, hal ini disebut kemerosotan budaya.
Situasi kemerosotan ini paling sering dijumpai dalam diri kaum muda. Bahkan, pada taraf tertentu, merekalah biang keladi, adanya kemerosotan budaya ini. Hal ini bisa terjadi: Kaum muda yang satu tidak diterima dalam pergaulan karena dicap 'kurang gaul', 'tidak mengikuti perkembangan zaman', dan seterusnya.
Meski demikian, satu hal yang tak dapat dimungkiri dan (mungkin) tersembunyi dalam diri kaum muda adalah: Mereka sedang berada dalam situasi dilematis. Mengapa? Ketika kaum muda begitu terlena dalam rayuan gombal globalisasi yang datang dari Barat, yang (katanya) akan membawa perubahan besar pada manusia, pada saat yang sama kaum muda mulai tergerus dan kehilangan identitas dirinya. Hal ini terlihat ketika kaum muda tidak bijaksana untuk mempertautkan antara identitas dirinya dengan perubahan dunia yang tak dapat dielakkan.
Berhadapan dengan situasi ini, sebuah puisi karya penyair kondang Indonesia, Gunawan Muhammad mungkin bisa menggugah'kemapanan' kaum muda saat ini.
Â
Expatriate
Akulah adam dengan mulut yang sepi
Putra surgawi
Yang damai, terlalu damai