Mohon tunggu...
Kris Ibu
Kris Ibu Mohon Tunggu... Penulis - Sementara bergulat

Mulailah dengan kata. Sebab, pada mulanya adalah kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korupsi dan Karakter Kita

12 Oktober 2017   01:14 Diperbarui: 12 Oktober 2017   03:01 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menarik perlombaan esai dan vlog yang diadakan oleh Harian Kompas. Tantangan yang diberikan Kompas kepada individu-individu yang mau mengikuti perlombaan ini (khususnya kawula muda dengan batasan usia 19-25 tahun) adalah apa yang akan terjadi dengan negara Indonesia keika berusia 100 tahun pada 2045 mendatang dan apa yang dilakukan generasi muda bila menjadi pemimpin nantinya? Ada banyak tema yang disodorkan. Salah satunya adalah korupsi. Apakah perilaku korupsi akan semakin berurat-akar di negeri kita pada usia 100 tahun? Ataukah korupsi akan punah dari negeri ini? Dalam tulisan ini, penulis mengangkat tema korupsi yang dianggap urgen dan praktiknya marak terjadi di negeri kita.

Korupsi 

 Dasar negeri korupsi. Inilah kalimat yang muncul ketika kita mencoba bertanya mengenai keadaan negeri kita kepada seorang petani di sebuah kampung yang mengikuti perkembangan negeri kita. Mengapa? Buktinya infrastruktur masih buruk sehingga menghambat aktivitas penjualan barang dagangan mereka ke pasar. Padahal, jalan-jalan di kota semakin hari semakin 'hotmix'. Demikian juga halnya dengan penerangan listrik yang belum dirasakan di kampung-kampung. Hal ini menyebabkan para petani sulit menghitung dan mengkalkulasikan barang dagangan mereka pada malam hari yang hendak didagangkan ke pasar pada esok harinya.

Kedua problem di atas, dari begitu banyak problem di negeri ini, sudah barang tentu salah satu akarnya ada dalam praktik korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa kita. Bukan hanya itu, praktik korupsi seakan menjadi kebiasaan sehari-hari. Hal ini dibenarkan oleh Ketua KPK, Agus Rahardjo, "Praktik suap di negeri ini seolah telah menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari (daily habit)". Alasannya, lanjut Ketua KPK, "Siapa pun yang menjadi pejabat publik dengan porsi kekuasaan yang sangat besar akan melakukan hal yang sama yakni korupsi" (Kompas, 9/9/2017).

Sungguh naas negeriku ini. Sudah ada jurang yang lebar antara kaya dan miskin, toh para pemimpin kita masih tetap menghidupi keluarga, kolega, partai dan orang-orang terdekatnya dengan cara mencuri uang rakyat (korupsi). Contohnya, beberapa bulan belakangan ini, kita dikagetkan dengan megakorupsi e-KTP yang melibatkan begitu banyak anggota DPR RI dan pejabat pemerintahan yang merugikan negara sekitar 3 triliun.

Genaplah nas adagium ini: "Sudah jatuh, tertimpa tannga lagi." Negara miskin, korupsi menjadi-jadi. Rakyat pun bertanya, lembaga perwakilan rakyat kok malah mencuri dan menghabiskan uang rakyat? Di mana integritas 'orang-orang besar' yang berintelektual tinggi dan bernalar logis ini? Kok bisa terjerumus dalam rayuan gombal korupsi?

Pendidikan Karakter

Patut diakui, korupsi memang merupakan suatu hal yang kompleks ketika kita mencari akar dan sebabnya. Namun, satu hal yang pasti, karakter kepribadian kita, khususnya dalam diri para pemimpin, belum nampak. Masalah ini patut kita tanggapi secara serius dan bersama-sama. Hal ini beralasan, menyangkut perkembangan bangsa kita ke depan.

Kejatuhan ini, hemat saya, dikarenakan 'dasar' kita yang tidak kokoh dan kuat. Salah satu contohnya terlihat jelas dalam dunia pendidikan kita.

Kita harus realistis bahwa pendidikan di negeri kita lebih menonjolkan aspek intelektual. Akibatnya, banyak orang cenderung memakai prinsip tradisional, asal tujuannya baik. Misalnya ketika diadakan ujian, orang cenderung mencontek agar bisa memeroleh nilai akhir yang baik. Ini baru satu contoh yang berakibat pada tumbuh-suburnya benih-benih korupsi.

Situasi banal ini jika tidak ditasi, dapat berdampak pada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, kita mesti menguatkan karakter kepribadian masing-masing individu. Sigmund Freud, psikolog asal Austro-Hongaria, pernah membagi  struktur kepribadian manusia dalam tiga bentuk. Di antaranya: id, ego dan superego. Id adalah kepribadian yang sangat primitif dan berdasar pada prinsip kesenagan. Ego adalah adalah prinsip yang bekerja dengan prinsip realita. Artinya, ego menyesuaikan diri dengan realitas. Sedangkan Superego adalah ego ideal yang berisi konsensia yakni aturan moral dan harapan lingkungan (Manu: 2016).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun