Mohon tunggu...
Kris Banarto
Kris Banarto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Bisnis dan Humaniora

Penulis buku: Transformasi HRD dalam Bisnis (Deepublish, 2021). Ketika Kita Harus Memilih (Gunung Sopai, 2022). Rahasia Sukses Bisnis Modern (Deepublish, 2022). Merajut Keabadian (Bintang Semesta Media, 2023). Website: www.ManajemenTerkini.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Purnomo-Gibran, Duet Akomodatif di Pilkada Solo

14 Agustus 2020   06:08 Diperbarui: 14 Agustus 2020   07:17 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Purnomo-Gibran sumber Fajar.co.id

Bukankah akan lebih elok menyandingkan Purnomo-Gibran, sembari ia belajar dengan senior-nya selama lima tahun.

Dan baru mencalonkan sebagai orang nomor satu di Solo pada 2030 mendatang? Toh usia masih muda.

Sebenarnya pencalonan anak pejabat bukan masalah boleh atau tidak boleh secara hukum atau aturan, tetapi masalah kepatutan, kepantasan, etika, nilai dan moral berpolitik. Jangan sampai berlindung pada prosedural tetapi mematikan calon lain yang lebih layak.

Jokowi mempunyai peran besar dalam memuluskan sang Putra Mahkota Gibran untuk meraih kekuasaan di Solo, sepertinya hendak memberi sinyal jangan sampai jabatan itu jatuh ke tangan orang lain.  

Dan kelak secara moral ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinan Gibran kepada masyarakat, mampukah ia membawa Kota Solo menjadi lebih maju?.

Apabila mencermati dinasti politik yang marak saat ini, maka kita dapat memperhatikan dampak negatifnya adalah :

1. Pengkaderan parpol tidak akan berjalan baik, karena partai berpikir praktis untuk memenangkan pilkada bukan mencari kandidat yang mempunyai pengalaman dan kemampuan. Ia akan mencalonkan darah biru pejabat yang sudah dikenal oleh masyarakat dan kuat dari segi finansial.

2. Calon bukan diukur dari merit system berdasarkan  kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang. Namun berdasarkan ketenaran keluarga dan kekuasaan orangtua.

Politikus potensial diluar dinasti yang telah memeras keringat dari bawah akan menjadi patah arang dan sulit untuk menempati posisi puncak. Ibarat seorang prajurit yang tertutup menjadi jenderal.

3. Ketika sudah menjabat dan karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman akan ditutupi oleh partai yang mengusungnya, sehingga akan mudah terjadi kompromi-kompromi untuk melanggengkan jabatannya. Voting di parlemen menjadi kartu as yang akan dimainkan demi menyetujui sesuatu yang belum tentu untuk kepentingan rakyat.

4. Rawan terjadinya KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) sejak dari proses pencalonan, pemenangan sampai menjabat. Karena akan diwarnai deal-deal politik antar partai pendukung calon, dan berlaku prinsip dalam politik, tidak ada makan siang gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun