Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

High Demand, Low Pay: Saat HRD Ditikung Ambisi Efisiensi

17 Juni 2025   10:30 Diperbarui: 18 Juni 2025   15:47 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses rekutmen | Sumber: Freepik/ijeab

Bima, lulusan universitas ternama dengan pengalaman kerja tiga tahun di perusahaan multinasional, mengira dirinya akan lolos dengan mudah dalam proses rekrutmen di sebuah perusahaan lokal yang sedang ekspansi besar-besaran.

CV-nya rapi, portofolio lengkap, dan ia mampu menjawab seluruh pertanyaan wawancara dengan percaya diri. Namun, ketika hasil seleksi diumumkan, namanya tak ada dalam daftar. HRD hanya memberi alasan singkat: "Kandidat kurang cocok dengan preferensi pimpinan."

Kasus Bima bukan hal yang langka. Di balik meja-meja rapat divisi SDM, proses rekrutmen yang seharusnya berbasis kompetensi sering kali dibelokkan oleh selera personal atasan. Kandidat terbaik bisa tersingkir hanya karena "kurang sreg" atau tidak masuk radar like & dislike atasan.

Ironisnya, di saat perusahaan kesulitan mempertahankan karyawan dan turnover kian tinggi, solusi yang diambil justru menambah beban kerja karyawan lama sambil tetap pasang syarat selangit untuk pelamar baru dengan gaji yang nyaris tak naik dari angka UMR.

Bukan karena tak ada kandidat yang kompeten, tapi karena proses rekrutmen yang terlalu subyektif, dan gaji yang tidak kompetitif.

Rekrutmen yang Tersandera Like & Dislike

Dalam praktik ideal, rekrutmen seharusnya dijalankan dengan pendekatan objektif: berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan kecocokan nilai antara kandidat dan budaya perusahaan. Namun, yang terjadi di banyak organisasi justru sebaliknya.

Keputusan akhir sering kali bukan berada di tangan HRD, melainkan diserahkan pada preferensi subjektif pimpinan. Tak jarang, pemilihan kandidat berubah menjadi ajang “siapa yang paling cocok di mata bos”, alih-alih “siapa yang paling layak mengisi posisi.”

Kandidat dengan kemampuan unggul bisa tersingkir hanya karena dianggap “terlalu vokal”, “terlalu berani”, atau sekadar tidak klik secara personal. Padahal, justru karakter seperti itu yang sering dibutuhkan untuk mendorong inovasi. Namun semua terhenti ketika standar yang digunakan adalah rasa, bukan data.

Akibatnya, HRD kehilangan perannya sebagai mitra strategis dalam pengembangan sumber daya manusia. Mereka hanya berfungsi sebagai penyaring awal administratif, sementara keputusan penting ditentukan oleh pihak yang tidak selalu memahami kebutuhan jangka panjang tim.

Ketika proses seleksi hanya menjadi formalitas untuk memenuhi prosedur, jangan heran jika hasil akhirnya jauh dari harapan, baik bagi pelamar, HRD, maupun perusahaan itu sendiri.

Syarat Selangit, Gaji Mepet UMR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun