Scroll media sosial sebentar saja, kita bisa langsung disuguhi potret kehidupan milenial yang serba estetik. Mulai dari kopi susu di kafe minimalis, OOTD di depan cermin kamar hotel, hingga feed penuh highlight dari staycation ke tempat yang sedang hits.
Gaya hidup generasi ini memang terasa lebih visual, serba instan, dan sangat layak untuk dibagikan.
Namun, di balik foto-foto yang terlihat “mapan” dan menyenangkan, ada fenomena yang sering luput dari perhatian: ilusi kemapanan.
Banyak yang tampak sukses di Instagram, tapi belum tentu punya simpanan darurat atau tabungan masa depan. Ada yang terlihat sering jalan-jalan, tapi masih bingung bayar cicilan bulanan. Bukan karena tidak mampu, tapi karena gaya hidup seringkali lebih diutamakan daripada fondasi keuangan yang stabil.
Padahal, hidup bukan hanya tentang today’s look, tapi juga tomorrow’s life. Di balik foto-foto estetik, adakah investasi konkret untuk masa depan, seperti rumah?
Realita Ekonomi Milenial
Milenial hari ini berada di usia yang disebut sebagai masa produktif, umumnya antara 25 hingga 40 tahun. Di usia ini, peluang untuk berkembang, menabung, bahkan memiliki aset seharusnya terbuka lebar. Tapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Harga rumah—bahkan di pinggiran kota—naik jauh lebih cepat daripada kenaikan gaji. Misalnya, di tahun 2010 harga tanah di beberapa daerah penyangga Jakarta masih berkisar Rp300 ribu per meter persegi. Kini, di lokasi yang sama, bisa menyentuh Rp1 juta hingga Rp2 juta per meter. Sementara itu, kenaikan gaji rata-rata pekerja tidak pernah melampaui inflasi harga properti.
Belum lagi tantangan konsumsi gaya hidup. Berdasarkan berbagai survei finansial, milenial dikenal sebagai generasi yang gemar membelanjakan uangnya untuk pengalaman—kuliner, traveling, gadget terbaru, hingga fashion musiman. Tidak salah, karena pengalaman juga berharga. Tapi saat pengeluaran konsumtif terus terjadi tanpa perencanaan finansial jangka panjang, mimpi seperti punya rumah pribadi bisa jadi makin menjauh.
Faktanya, banyak yang memilih cicilan kendaraan atau belanja daring berulang dibandingkan mempersiapkan uang muka rumah. Godaan "paylater" dan diskon kilat yang berseliweran di layar ponsel lebih menarik ketimbang menyisihkan dana untuk investasi masa depan.
Tak jarang, gaya hidup berlebihan yang dibungkus estetika digital menciptakan jebakan finansial yang tak kasatmata. Kita merasa baik-baik saja karena ikut tren, padahal pelan-pelan justru menjauh dari kestabilan finansial.