Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dulu Abonemen, Kini Cashless: Cara Hemat Ongkos dari 1997 sampai Jadi Gaya Hidup

5 Juni 2025   06:17 Diperbarui: 22 Juni 2025   05:55 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penumpang commuter line.(Dok. KAI Commuter via Kompas.com)

Siapa sangka, keputusan membeli abonemen kereta di tahun 1997 jadi awal dari kebiasaan mengatur uang transport hingga sekarang. Kala itu, sebagai mahasiswa yang bolak-balik Depok-Bogor setiap hari, saya harus pandai-pandai mengatur ongkos agar uang kiriman bulanan cukup sampai akhir bulan. Tiket langganan KRL menjadi penyelamat, bukan hanya dari sisi biaya, tapi juga dari stres memikirkan uang transport harian.

Transportasi, meskipun terlihat sebagai pengeluaran kecil harian, bisa jadi jebakan penguras dompet jika tidak dikelola dengan baik. Ongkos ojek, bensin, tol, parkir, hingga transportasi online yang dibayar "sekilas murah" lewat e-wallet, sering kali tidak terasa menumpuk. Di sinilah pentingnya manajemen cashflow mengatur aliran masuk dan keluar uang agar tetap seimbang.

Pengeluaran transportasi bukanlah sesuatu yang bisa dihindari, tapi bisa dioptimalkan. Dari tiket langganan di era 90-an hingga promo digital dan metode cashless masa kini, mengatur uang transport adalah bagian dari gaya hidup hemat yang terus relevan lintas zaman.

Masa Mahasiswa 1997: Abonemen, Solusi Hemat ala Anak Kereta

Tahun 1997, saya menjadi salah satu dari ribuan anak kereta yang setiap hari menempuh perjalanan Depok-Bogor pulang pergi untuk kuliah. Jarak itu mungkin terlihat dekat di peta, tapi untuk mahasiswa dengan uang saku pas-pasan, ongkos transport bisa jadi pengeluaran terbesar setelah makan dan fotokopi diktat.

Saat itulah saya mengenal tiket abonemen--kartu langganan bulanan KRL yang memungkinkan pengguna naik-turun kereta tanpa harus beli tiket setiap hari. Dalam hitungan kasar, membeli abonemen bisa menghemat hingga 40-50% dibandingkan beli tiket harian. Bagi saya, ini bukan cuma soal hemat, tapi strategi bertahan hidup sebagai mahasiswa rantau.

Baca jugaa: 28 Tahun Menjadi Anak Kereta: Dari Gerbong Lawas ke Tap-in Digital, Ini Baru Kebangkitan!

Waktu itu belum ada aplikasi tiket, belum ada top-up online. Saya masih harus mengantri di loket, menjaga kartu jangan sampai hilang, dan hafal jadwal kereta jam-jam sibuk. Tapi justru dari rutinitas inilah, saya mulai membentuk kebiasaan mengatur pengeluaran, mencatat prioritas, dan memahami pentingnya membuat keputusan finansial yang rasional, bahkan untuk hal "sepele" seperti ongkos transport.

Lebih dari sekadar alat hemat, tiket abonemen menjadi simbol kemandirian finansial versi saya. Ia mengajarkan bahwa keputusan kecil sehari-hari bisa berpengaruh besar dalam jangka panjang.

Pembayaran cashless | bumntrack.co.id
Pembayaran cashless | bumntrack.co.id

Kini Berkeluarga: Transport Hemat Tetap Jadi Gaya Hidup

Waktu berlalu, masa kuliah telah lama selesai. Kini saya menjalani peran sebagai orang tua, dengan tanggung jawab keuangan yang jauh lebih kompleks. Tapi satu hal tetap sama: saya masih memegang prinsip bahwa pengeluaran transportasi harus dikelola dengan cermat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun