Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

28 Tahun Menjadi Anak Kereta: Dari Gerbong Lawas ke Tap-in Digital, Ini Baru Kebangkitan!

20 Mei 2025   08:53 Diperbarui: 20 Mei 2025   10:47 3893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 KRL Commuterline. | Dok. KAI Commuter 

Dua puluh delapan tahun lalu, saya naik kereta pertama kali dari Depok menuju Bogor. Gerbongnya panas, bangkunya besi panjang tanpa sandaran, dan tiketnya berupa kertas kecil yang disobek petugas sebelum masuk peron. Tak ada AC, tak ada jadwal digital—yang ada hanyalah desakan penumpang dan suara khas pengamen yang menyelinap dari gerbong ke gerbong. Tapi dari sanalah perjalanan panjang saya sebagai ‘anak kereta’ dimulai—menyusuri rel-rel perubahan, menjadi saksi bisu bagaimana transportasi publik ikut mengalami kebangkitan.

Kini, di tengah kemudahan tap-in digital, aplikasi real-time, dan stasiun modern yang tertib, saya merenung: kebangkitan itu tak selalu berbentuk heroik seperti dalam buku sejarah. Ia bisa hadir dalam bentuk perubahan kecil namun konsisten. 

Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya soal mengenang masa lalu, tapi juga tentang menyadari betapa jauhnya kita melaju hari ini. Dan bagi saya, Commuter Line adalah salah satu buktinya.

Masa Lalu: Romantika Gerbong Lawas (Era 1997 – Awal 2000-an)

Di akhir era 90-an, naik kereta bukan sekadar pilihan transportasi—bagi sebagian dari kami, itu adalah satu-satunya cara terjangkau untuk menempuh perjalanan jauh ke sekolah atau tempat kuliah. Tahun 1997, saya kuliah di Bogor dan setiap hari harus pulang-pergi (PP) naik kereta dari Stasiun Depok ke Stasiun Bogor. Jalur pendek itu terasa panjang karena fasilitas yang sangat jauh dari kata nyaman.

Gerbong kereta ekonomi yang saya naiki kala itu nyaris selalu penuh. Tidak ada AC, bangkunya dari besi panjang tanpa sekat, dan jendela hanya berupa kisi-kisi yang terbuka lebar menampakkan debu dan suara dari luar. Untuk bisa masuk, saya harus sigap—kadang harus berebut pintu dengan penumpang lain, karena tak jarang kereta datang dengan sangat padat sejak stasiun sebelumnya.

Ilustrasi padatnya penumpang | Credit: Commuterline 
Ilustrasi padatnya penumpang | Credit: Commuterline 

Yang paling membekas bukan hanya suasana gerbong yang semrawut, tapi juga pengalaman pahit yang sempat saya alami: dua kali kecopetan selama perjalanan. Sekejap lengah, dompet bisa raib. Momen seperti itu jadi pelajaran besar—tentang waspada, tentang bertahan, dan tentang kerasnya perjuangan anak kereta yang tak kenal lelah.

Namun di balik segala keterbatasan, kereta adalah ruang belajar dan pengingat tentang konsistensi. Saya membaca buku di tengah hiruk-pikuk pengamen dan pedagang asongan. Saya hafal ritme suara roda kereta menghantam sambungan rel. Saya bahkan mengenal beberapa wajah penumpang lain yang juga rutin pulang-pergi. Kami tak saling menyapa, tapi kebersamaan kami dalam gerbong yang sama, hari demi hari, menghadirkan semacam rasa solidaritas diam-diam.

Meski jauh dari ideal, masa itu menyimpan banyak nilai: kegigihan, kesederhanaan, dan ketangguhan. Dan kini, saat melihat perubahan besar yang telah terjadi, saya sadar—semua itu bukan hanya kenangan, tapi juga jejak nyata dari proses kebangkitan transportasi publik kita.

Baca juga: Kereta Gajayana: Perjalanan Rel yang Membuka Jalan Menuju Dunia Mengajar

Masa Transisi: Perubahan Bertahap (2000-an – 2010-an)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun